Page 10 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 10

www.rajaebookgratis.com





               yang berumur enam tahun itu mirip benar ayahnya masing-masing. Kompak urusan beginian,
               meski  sering  sekali  justru  sibuk  bertengkar  saat  sedang  bermain  bersama.  Sebenarnya
               perangai Delima-Juwita memang copy-paste perangai ayah-ayah mereka berdua waktu kecil
               dulu.
                   Pesawat  Boeing  kapasitas  dua  ratus  penumpang  itu  bersiap  meluncur  ke  landasan
               bandara. Gemerlap lampu kota Roma terlihat indah dari bingkai jendela. Menawan. Wibisana
               melipat laptopnya.
               "Kau sudah selesaikan revisi presentasinya?"
                   Wibisana mengangguk mantap,
               "Kali  ini,  petinggi  pabrik  itu  tidak  akan  menolak....  Kita  akan  memberikan  lebih  banyak
               keuntungan dibandingkan perusahaan dari China itu!"
                   Ikanuri  mengangguk  kecil.  Memasukkan  kertas  pesanan  gadis  kecilnya  ke  saku.
               Menepuk-nepuk saku kemeja. Ini perjalanan bisnis yang penting. Pembicaraan besok pagi di
               salah satu kedai kopi elit dekat Piazza de Palozzo akan menentukan rencana ekspansi pabrik
               kecil milik mereka. Sebenarnya dibandingkan pesaing raksasa industri China itu mereka tidak
               ada  apa-apanya.  Pabrik  butut  itu  tak  lebih  dari  bengkel  modifikasi  mobil.  Mereka  hanya
               punya modal nekad. Keberangkatan ini juga pakai acara pinjam uang Mamak Lainuri segala.
               Ah, sejak kecil memang inilah yang mereka miliki. Nekad. Bandel. Keras kepala. Di samping
               tentang teriakan 'kerja-keras', 'kerja-keras', 'kerja-keras' yang selalu diocehkan Kak Laisa saat
               galak melotot sambil memegang sapu lidi, memarahi mereka.
                   Sejak kecil Ikanuri dan Wibisana sudah kompak. Kakak-beradik yang selalu bisa saling
               mengandalkan. Hari ini mereka berangkat ke Roma bersama-sama. Menyelesikan tender hak
               pembuatan  sasis  salah-satu  mobil  balap  tersohor  produksi  Italia.  Seperti  biasa,  pesaing
               mereka (juga pesaing pengusaha-pengusaha lokal lainnya), datang dari negeri Panda, China.
               Mereka  sejak  kecil  selalu  berdua.  Tidak  terpisahkan.  Sekarang  saja  rumah  mereka
               berseberangan  jalan.  Dengan  istri  dan  satu  gadis  kecil  usia  enam  tahun  masing-masing.
               Delima  dan  Juwita.  Bahkan,  percaya  atau  tidak,  Ikanuri  dan  Wibisana  menikah  di  hari,
               tempat, dan penghulu yang sama. Delima dan Juwita juga lahir di hari yang sama. Jadi meski
               tidak kembar secara biologis, Ikanuri dan Wibisana lebih dari 'kembar'.
                   Lima menit berlalu, burung besi berukuran jumbo itu mendarat dengan mulus di landasan.
               Penumpang  yang  seratus  persen  sudah  terjaga  bergegas  menurunkan  tas-tas  dari  bagasi.
               Bersiap  turun  setelah  penerbangan  belasan  jam.  Menggerak-gerakkan  badan.  Berusaha
               mengusir pegal.
               "Biar aku saja  yang  menghubungi  mereka!" Ikanuri  yang  melihat  Wibisana  mengeluarkan
               HP-nya, ikut mengeluarkan dua telepon genggam miliknya. Satu untuk urusan bisnis. Satu
               untuk  urusan  keluarga.  Dua-duanya  dikeluarkan.  Perlahan  menekan  tombol  ON.
               Menyalakannya.  Tadi  saat  keberangkatan,  galak  sekali  pramugari  pesawat  menyuruh
               penumpang mematikan HP. Yeah, penumpang dari Indonesia memang bebal bin bandel soal
               beginian.  Mereka  lupa,  maskapai  yang  mereka  naiki  bukan  maskapai  domestik  kelas
               kampung yang cuek dengan standar internasional keamanan penerbangan.
               "Mereka  berjanji  menjemput  di  bandara,  bukan?"  Wibisana  duduk  kembali,  membiarkan
               penumpang lain bergegas turun duluan.
               "Yap, tenang saja, Italiano Silsilia itu pasti akan menjemput kita. Kalau tidak, paling sial kita
               nyasar lagi di negeri orang, haha,"
               Ikanuri  tertawa,  menunggu  dua  telepon  genggamnya  booting.  Dua  detik  berlalu.  Lantas
               menekan phonebook.
                   Tetapi sebelum dia melakukannya, HP untuk urusan keluarganya keburu bergetar duluan.
               SMS.  Juga  bergetar  di  saat  bersamaan  HP  milik  Wibisana.  Itu  juga  HP  urusan  keluarga.
               Siapa?  Ikanuri  dan  Wibisana  menelan  ludah.  Saling  bersitatap  satu  sama  lain.  Siapa  yang
   5   6   7   8   9   10   11   12   13   14   15