Page 11 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 11

www.rajaebookgratis.com





               mengirimkan  SMS?  Hanya  ada  enam  orang  yang  tahu  nomor  itu,  dan  mereka  berdua
               diantaranya.
                   Keliru. Bukan dari siapa pertanyaan tepatnya Ikanuri dan Wibisana barusan. Tapi lebih
               tepat: ada apa? Apa yang terjadi? Wajah mereka berdua mendadak mengeras, cemas, SMS?
               Ini  pasti  Mamak  Lainuri.  Yang  lain  pasti  selalu  menelepon  jika  ada  urusan  penting.
               Bukankah  seumur-umur  Mamak  tidak  pernah  mengirimkan  SMS.  Menggunakan  HP-nya
               saja, Mamak tak mahir benar. Jika Mamak yang kirim, ini pasti penting sekali.
                   Tangan  Ikanuri  dan  Wibisana  sedikit  terburu-buru  menekan  tombol  open.  Gagap
               membaca kalimat-kalimatnya. Menggigit bibir. Terdiam. Lantas bersitatap lemah satu sama
               lain lagi. Satu detik. Dua detik. Lima detik. Senyap. Berdiri diam di antara sibuknya gerakan
               198  penumpang  beranjak  turun.  Dan  seperti  sontak  diperintahkan,  mereka  berbarengan
               melangkah  mendekati  pramugari.  Mendorong-dorong  penumpang  lain.  Bersikutan.  Lupa
               sudah dengan koper-koper. Lupa sudah dengan janji pertemuan bisnis yang penting, besok
               pagi. Lupa dengan segalanya.
                   Ikanuri terbata berkata: "Il Volo.. per Jakarta.. C'e un volo per Jakarta questa sera?"
                   Apa ada…penerbangan kembali ke Jakarta... malam ini juga?

               4
               PENGUASA ANGKASA
               DUA PULUH RIBU kilometer dari langit malam kota Roma yang cemerlang oleh cahaya. Di
               sini, pagi justru sedang beranjak meninggi. Pukul 06.00. Udara berkabut. Putih membungkus
               puncak Semeru. Pemandangan luas menghampar begitu memesona. Tebaran halimun yang
               indah.  Empat  gunung  di  sekitarnya  terlihat  menjulang  tinggi,  mengesankan  melihatnya.
               Berbaris.  Gunung  Bromo.  Tengger.  Merbabu.  Seperti  serdadu.  Uap  mengepul  dari  kawah
               Semeru.  Angin  mendesing  lembut.  Samudera  Indonesia  memperelok  landsekap,  terlihat
               terbentang nun jauh di sana. Membiru. Sungguh pemandangan yang hebat.
                   Tangan  yang  memegang  teropong  binokuler  berkekuatan  zoom  25  kali  itu  sedikit
               gemetar. Brrr.... Dingin. Suhu menjejak 4 derajat celcius di atas sini, ketinggian 3150 meter
               dpl  (di  atas  permukaan  laut).  Jaket  tebal  yang  membungkus,  topi  lebar,  slayer  besar  tak
               membantu  banyak.  Hanya  karena  terbiasa  dan  antusiasme  tak  terbilanglah  yang  membuat
               gadis  berumur 34 tahun  itu tetap bertahan dari tadi  shubuh persis di tubir kawah Semeru.
               Mukanya  seolah  tidak  peduli  dengan  dinginnya  pagi,  malah  menyeringai  oleh  senyum
               senang.  Mata  hitam  indahnya  bercahaya.  Wajah  cantik  itu  amat  bersemangat.  Rambut
               panjangnya menjuntai, mengelepak pelan oleh deru angin pagi....
                   Ia sudah  lama  menunggu kesempatan  ini.  Dingin dan  sukarnya trek terjal pegunungan
               bukan  masalah.  Ia  menguasai  medan  sulit  seperti  ini  sejak  kedl.  Dulu,  sejak  ingusan,  ia
               belajar langsung dari jagonya.
               "Arah pukul dua belas! Arah pukul dua belas!" Gadis itu tiba-tiba berseru tertahan.
               "Mana? Di mana?"
               "Lima belas meter dari bibir kawah. Dinding dekat batu cokelat! Batu cokelat, bukan yang
               hitam." Gadis itu berbisik antusias ke teman-teman di belakangnya, berusaha mengendalikan
               volume suaranya.
               "Mana? Di  mana?" Dua rekannya, cowok-cewek, dengan usia tidak  beda, dengan pakaian
               sama  tebalnya  bertanya  lagi  sambil  beringsut  mendekat.  Mengarahkan  binokuler  masing-
               masing ke arah yang ditunjuk gadis satunya barusan.
               "Batu besar arah jam dua belas! Batu besar cokelat—"
               "Batu besar? Cokelat?"
               "PKAAAK!" Lenguh suara nyaring itu sempurna sudah memecah hening puncak Semeru.
                   Bagai menguak kabut. Bagai membelah halimun. Membuat wajah-wajah sontak tertoleh,
               mendongak.
   6   7   8   9   10   11   12   13   14   15   16