Page 9 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 9

www.rajaebookgratis.com





               vi sono sette ore di differenza. Senior & Seniorita, pesawat akan segera mendarat di Bandara
               Roma lima menit lagi. Harap kenakan sabuk pengaman Anda.... Perbedaan waktu Jakarta dan
               Roma—"
               "Bangun, Ikanuri!" Wibisana menyikut lengan adiknya.
                   Ikanuri menguap, menggosok matanya, "Sudah sampai?"
                   Wibisana mengangguk.
                   Wajah mereka berdua mirip sekali. Rambut. Matanya. Ekspresi wajah. Bahkan bekas luka
               kecil di dahi. Bedanya, yang satu baretnya di sebelah kanan, yang satu di sebelah kiri. Selain
               itu, nyaris 99,99%  mirip, termasuk tinggi,  lebar dan  bentuk perawakan tubuh. Jadi  seperti
               sepasang kembar kalau  mereka  berdiri  berjajar. Padahal  mereka  sedikit  pun tidak  kembar,
               apalagi kembar identik. Mereka berdua hanya lahir di tahun yang sama, terpisahkan sebelas
               bulan. Yang satu beramur 34 tahun (Wibisana), yang satunya (Ikanuri) 33 tahun. Menariknya,
               meski  Ikanuri  lebih  muda,  dia  lebih  dominan  dalam  urusan  apapun  dibanding  Wibisana.
               Makanya orang-orang justru berpikir Ikanuri-lah yang menjadi kakak.
               "Kau  mimpi  apa?"  Wibisana  tertawa  melihat  wajah  Ikanuri  yang  mengernyit,  berusaha
               mengusap-usap matanya yang sedikit merah.
               "Biasa! Mimpi dikejar-kejar Kak Lais pakai sapu lidi! Sialan, kali ini ia berhasil memukul
               pantatku! Sakit sekali — "
               Ikanuri menjawab seadanya, nyengir. Pura-pura mengusap punggungnya. Ikut tertawa.
                   Demi mendengar celetukan adiknya, Wibisana tertawa lebih lebar. Bagian itu kenangan
               masa  kecil  favorit  mereka,  olok-olok  masa  lalu  yang  menyenangkan  untuk  diingat,  meski
               telah  berkali-kali  diingatnya.  Nyengir  lebar.  Sementara  Ikanuri  sudah  sibuk  merapikan
               kemeja biru yang dikenakannya. Membungkuk memasang tali sepatu. Tadi sengaja dilepas,
               agar  bisa  rileks  tidur  di  kursi  penerbangan  kelas  ekonomi,  yang  tempat  duduknya  ekstra
               sempit buat penerbangan jarak jauh.
               "Ini  apa?"  Wibisana  mendorong  pelan  laptop  di  atas  tatakan  meja,  ikut  membungkuk,
               mengambil  kertas  yang  tidak  sengaja  jatuh  dari  saku  kemeja  Ikanuri  saat  memasang  tali
               sepatu.
               "Oo itu —, biasa titipan Juwita! Kau bacalah!"
               "Papa, questi sono i miei desideri.. 1. Pizza, 2. Spagheti, 3. Miniatur Colloseum, 4. Miniatur
               Menara Miring, 5. Kaos bola Del Piero, 6. Kaos bola Totti, 7, Kaos bola Materazzi, 8. Kaos
               bola  Zidane,"
               Wibisana tertawa kecil lagi,  menghentikan membaca daftar panjang di kertas tergulung itu,
               "Haha, bagaimana mungkin 'sigung kecil' itu tidak tahu kalau Zidane sudah tidak main bola
               lagi di Juventus? Lagipula Zidane sudah lama pindah ke liga Spanyol, bukan? Sudah pensiun
               pula sejak piala dunia. Tidak adalah kaosnya di sini—"
               "Mana pula anak itu akan peduli," Ikanuri menerima kertas pesanan tersebut dari Wibisana,
               melipatnya.
               "Kau tahu, Juwita seminggu terakhir sengaja benar membuka buku pintarnya tentang Italia.
               Mendaftar semua pesanan ini. Entahlah, sempat atau tidak membeli semuanya, apalagi kaos -
               kaos  bola  ini.  Buat  apa  coba  Juwita  titip  kaos  bola,  jelas-jelas  ia  anak  perempuan,  kan?
               Titipannya  kali  ini  benar-benar  akan  merepotkan.  Mungkin  tidak  semua  akan  bisa
               kubelikan..."
               "Kalau  begitu,  bersiap-siaplah  melihat  wajah  sok  merajuknya  saat  kau  nanti  pulang!"
               Wibisana nyengir lebar,
               "Anak  itu  memang  pintar  membuat  orang  lain  susah....  Pandai  menipu.  Jago  pura-pura
               merajuk. Haha, mirip benar dengan tabiat buruk ayahnya waktu kecil."
                   Ikanuri  mengusap  rambut.  Ikutan  nyengir.  Bergumam  dalam  hati,  Wibisana  pasti  juga
               mengantongi daftar puluhan pesanan  yang sama  dari Delima, anaknya. Bukankah kemarin
               Juwita bilang, ia mengirimkan daftar pesanannya ke Delima lewat email. Anak-anak mereka
   4   5   6   7   8   9   10   11   12   13   14