Page 16 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 16

www.rajaebookgratis.com





               bertiup pelan. Terasa begitu menyenangkan. Membelai anak rambut. Menelisik di sela-sela
               kuping. Yashinta mengusap dahinya. Menatap langit pagi yang membiru. Gumpalan halimun.
               Ya Allah, ini sama persis seperti di lembah itu. Sama persis.
                   Lembah itu....
                   Rasa  haru  itu  menelisik  lagi  hatinya.  Mengiris  membusai  perih  di  mata.  Yashinta
               mengusap ujung-ujung matanya, Ya Allah, apa yang sebenarnya terjadi? Berpilin. Berputar.
               Terlemparkan. Dua puluh lima tahun silam.
                   Kenangan-kenangan itu kembali sudah.
                   Di  sini  juga  angin  selalu  bertiup  menyenangkan.  Tidak  pagi.  Tidak  siang.  Tidak  juga
               malam.  Tapi  sepanjang  hari,  sepanjang  malam.  Angin  selalu  berhembus  lembut  membelai
               anak-anak rambut.
               "Masih jauh, Kak?"
               Kaki-kaki kecil  itu  menjejak air anak Mingai  setinggi  mata-kaki. Kecipak-kecipak. Sungai
               yang jernih. Di tengah hutan ini ada puluhan cabang anak sungai kecil seperti ini.
               "Masih—" Tubuh gendut dan gempal yang lima belas senti lebih tinggi dibandingkan anak
               kecil  di  belakangnya  menjawab  pendek.  Burung-burung  berhamburan  dengan  suara  ramai
               saat dua anak itu membelah jalanan setapak rimba.
               "Seberapa jauh lagi? Lima menit? Sepuluh menit?"
               kecipak-kecipak. Bebatuan licin menyembul dari permukaan sungai.
               "Masih jauh! Dan kau jangan sampai terpeleset, YASH!"
                   Suara nyanyian puluhan burung memenuhi langit-langit hutan. Cahaya pagi menerobos
               sela  dedaunan,  menerabas  sela-sela  putihnya  kabut.  Membuatnya  seperti  mengambang.
               Bahkan  seolah-olah kalian  bisa  menangkap  berkas cahaya  itu. Mereka  sejak  setengah  jam
               lalu  menelusuri  hutan.  Tangkas  yang  satunya,  yang  berjalan  di  depan,  berjalan  sambil
               menebas ujung-ujung semak belukar yang menjuntai ke batang sungai, menghalangi mereka.
                   Kedua anak perempuan itu sebenarnya berbeda umur cukup jauh. Yang besar sudah sekitar
               enam  belas  tahun,  yang  kecil  baru  enam  tahun.  Tapi  karena  perawakan  yang  lebih  besar
               sepertinya tidak akan tumbuh normal, sebaliknya yang lebih kecil tumbuh lebih cepat, maka
               mereka seperti berbeda umur dua-tiga tahun saja.
                   Mereka lahir disebuah lembah indah yang sempurna dikepung hutan belantara. Terpencil
               dari  manapun.  Dua  jam  perjalanan  dari  kota  kecamatan  terdekat.  Namanya,  Lembah
               Lahambay.  Persis  di  tengah-tengah  bukit  barisan  yang  membentang  membelah  pulau.
               Deretan gunung-gunung kecil. Ada sebelas puncak gunung setinggi 1.500-2.000 meter dpl di
               kawasan lembah itu.
                   Terselip  disana-sini,  ada  sekitar  empat  perkampungan  radius  sepuluh  kilo  di  Lembah
               Lahambay.  Berjauhan  satu  sama  lain.  Paling  dekat  terpisah  satu  kilometer.  Satu
               perkampungan  paling  banyak  terdiri  dari  30-40  rumah  panggung.  Perkampungan  mereka
               terletak  paling  tepi,  paling  bawah,  berbatasan  langsung  dengan  hutan  rimba.  Tapi  meski
               disekitar kampung banyak terdapat sungai, celakanya posisi kampung itu tetap lebih tinggi
               dari manapun. Sungai besar yang ada di bawah kampung terpisah oleh dinding cadas setinggi
               lima meter, yang membuat kampung itu seperti sempurna terpisah dari rimba.
                   Untuk menuruni dinding cadasnya saja sudah sulit bukan main. Maka tidak seperti desa-
               desa yang lazimnya dekat dengan hutan (yang otomatis berarti dekat dengan sungai), disini
               penduduk menanam sawah tadah hujan, bukan bercocok-tanam dengan sawah irigasi. Mereka
               hanya  berharap  pada  siklus  kebaikan  langit.  Selebihnya  bekerja  mencari  rotan,  damar,
               kumbang hutan, hingga belakangan menjual burung, kukang, jangkrik, dan apa saja yang laku
               di kota kecamatan.
               "Masih  jauh,  Kak?  Lima  menit?  Sepuluh  menit?"  Gadis  kecil  yang  berumur  enam  tahun
               bertanya lagi sambil melepas daun yang tersangkut di rambut.
               " Masih!"
   11   12   13   14   15   16   17   18   19   20   21