Page 33 - Bisikan Ombak - by Suci Harjono
P. 33
“Heh, sudah siang. Tak terasa kita cukup lama, ya. Oke, Erik, nanti
kapan-kapan mampir ke rumah saja, ya. Bisa ketemu dengan warga
juga.”
Daud berdiri, menyeret ketitingnya. Rumahnya tak terlalu jauh,
hanya berjarak 200 meter dari tempatnya berbicara dengan Erik.
“Makasih, Om. Iya nanti saya akan main ke rumah.”
Erik mengangguk, membiarkan Daud meninggalkan dirinya.
**
Sehari berikutnya, Erik menepati janjinya datang ke rumah Daud.
Erik banyak mengajak bicara untuk memberikan dukungan bagi nelayan
agar berani mendapatkan hak-haknya. Dari kedatangan yang pertama di
susul kedua, ketiga dan hampir setiap hari Erik datang. Sampai sebulan
Erik rajin menyambangi nelayan Malalayang. Tidak mudah mendorong
semangat nelayan untuk sadar akan haknya dan berani melakukan
langkah yang selama ini belum pernah di lakukan.
Erik bersama teman-temannya harus pelan-pelan membuka
kesadaran nelayan dengan berbagai contoh keadaan nelayan yang hidup
serba kekurangan. Tambatan perahu merupakan kebutuhan nelayan
yang tidak bisa diganti dengan apapun. Tanpa tambatan perahu, nelayan
akan kesulitan untuk menepi dan menyimpan ketitingnya dengan aman.
Tidak mungkin nelayan kehilangan tambatan perahu. Sebagai areal
terbuka pantai, pemkot Manado tidak bisa dengan seenaknya menjual
pantai kepada pihak lain, apalagi dialihfungsikan sebagai bangunan lain
seperti maal, restoran.
Awalnya nelayan tidak mempunyai nyali untuk menuntut
hak mereka. Ketakutan berhadapan dengan aparat pemerintah dan
kepolisian serta pengembang membuat mereka tidak berani untuk
mempertanyakan haknya.
Erik dan teman-temannya tidak patah semangat. Perjuangan
nelayan di Sario menjadi salah satu contoh kegigihan nelayan
mempertahankan tambatan perahu.
Beberapa minggu kemudian Daud memberanikan diri
mengumpulkan nelayan Malalayang di rumahnya yang sempit. Tak ada
pilihan lain untuk tempat berkumpul, semua rumah berukuran kecil.
Bisikan Ombak_ Suci Harjono_sucihan03@gmail.com 33