Page 43 - Bisikan Ombak - by Suci Harjono
P. 43
5
Memancing Di Air Keruh
Hari masih pagi, mentari belum muncul, masih bergelung dengan
malam. Di luar masih berselimut gelap. Angin dingin dari laut Sario
bertiup cukup kencang serasa menusuk tulang. Semalam sempat hujan,
menjelang subuh sudah reda. Tinggal menyisakan angin yang serasa
ingin membekukan darah.
Tak ada yang suka dengan dinginnya pagi, sebagian orang memilih
untuk terus meringkuk di dalam selimut atau bermalas-malasan untuk
bangun. Paling tidak menunggu matahari muncul untuk mengusir dingin
dan menebarkan sedikit hawa panas.
Tetapi hal itu tidak berlaku bagi penduduk Sario. Saat pagi
merekah, harapan akan sebuah penghidupan yang lebih baik sudah
menunggu. Di situlah awal hidup mereka yang sesungguhnya. Pagi hari
adalah waktu di mana para istri menunggu suaminya dengan segunung
harapan dari terkabulnya doa-doa mereka malam sebelumnya. Ya, do’a
agar suami pulang dengan selamat dan membawa hasil melaut dengan
baik.
Penduduk Sario yang tinggal di dekat pantai tak lagi merasakan
hawa dingin karena sudah menjadi teman sehari-hari. Kesibukan sudah
tampak sejak pagi buta. Ibu-ibu nelayan sibuk dengan rutinitas pekerjaan
rumah tangga. Mereka harus bergegas untuk menyelesaikan urusan
dapur karena sebentar lagi harus menunggu suami pulang dari laut dan
mengambil alih tugas untuk merawat hasil jerih payah para suami.
Lamat lamat terdengar suara gaduh, teriakan, kata-kata kasar, makian
dan suara orang marah-marah. Teriakan itu semakin keras, tepatnya
berasal dari ruang terbuka pantai.
Beberapa orang perempuan penasaran. Meninggalkan urusan
rumah tangga dan segera menuju ke tempat gaduh yang tak jauh dari
tempat tinggal mereka.
“Ada apa, Kak? Kenapa ada ribut-ribut?” Nancy berlari mengekor
Mery, tetangganya.
“Tak tahulah. Suami kita sudah tiba rupanya. Kenapa ada
Bisikan Ombak_ Suci Harjono_sucihan03@gmail.com 43