Page 48 - Bisikan Ombak - by Suci Harjono
P. 48
yang mengambil alih untuk menghalangi dengan duduk dan berbaring
di sekitar pantai dan tambatan perahu. Dengan gagah berani mereka
melawan meskipun hatinya cukup ciut kalau-kalau pengembang tetap
memaksakan diri menimbun pantai. Para perempuan perkasa tersebut
tetap bertahan di tengah terik sinar matahari. Ide untuk menjadi tameng
bagi penolakan penimbunan sebenarnya terinspirasi dari beberapa
pengalaman dari berbagai tempat yang di lakukan oleh perempuan.
“Torang mesti cari tahu ulah siapa itu. Jangan-jangan pengembang
itu,” gumam Budi pelan.
“Ya, nanti setelah kita istirahat sebentar….”
“Nggak bisa, sekarang torang mesti ke sana untuk lihat,” potong
Budi cepat.
Jantry berpandangan dengan Kustya.
Budi tidak lagi menghiraukan kedua tetangganya, bergegas pulang
ke rumah. Sesaat setelah meletakkan ikan di rumah, Budi berjalan cepat
menuju tambatan perahu. Tetapi tidak terlalu lama kemudian ia harus
menahan rasa kecewa karena tak ada seorangpun berada di sekitar
tempat penimbunan batu. Tidak ada truk dan mobil apapun, hanya ada
bekas roda truk yang membuat galur ban. Di sisi sebelah barat masih
ada tumpukan batu yang belum sempat di buang ke laut. Sepertinya
mereka bekerja sangat cepat dan efisien. Dalam waktu semalam mampu
menimbun sebagian ruang terbuka pantai dan berhasil menghilangkan
pancang tambatan perahu nelayan.
“Hari masih pagi, belum ada yang datang,” kata Jantry sambil
melihat-lihat bekas ban yang cukup banyak.
“Mereka langsung pergi setelah menurunkan batu-batu ini,”
tutur Budi. Dari bekas ban kelihatan ada beberapa truk yang membawa
tanah dan batu penimbun pantai.
“Torang pulang dulu, nanti siang bisa cari tahu siapa yang
melakukan penimbunan.” Usul Jantry.
“Dorang rupanya telah mengingkari perjanjian dengan torang,”
geram Budi. Teringat rangkaian pertemuan kelompok nelayan yang
dilakukan berbulan-bulan untuk memutuskan strategi yang akan
dilakukan. Pertemuan dengan pihak kelurahan, kecamatan, walikota
48 Bisikan Ombak_ Suci Harjono_sucihan03@gmail.com