Page 123 - RBDCNeat
P. 123
lalu berkata kepada Mama dan Bapak, “Sudah, anak ini ikut
mesantren saja. Tidak perlu sekolah umum. Soalnya sekolahnya
jauh dari pondok.” Padahal awalnya Mama ingin aku bisa
mesantren sambil sekolah, tapi ternyata aku tetap tidak bisa
bersekolah formal. Lalu, Pak Kyai menyuruhku mencium kaki
Bapak dan Mama baru kemudian aku dibawa ke pondok.
Di dalam kami bertemu dengan Umi (istri Pak Kiyai).
Mama sempat berbincang-bincang dengan Umi dan
menceritakan keadaanku. Lalu, aku dan Mama dibawa ke
kobong. Kami disambut oleh teman-teman yang sekobong
denganku. Alhamdulillah, sepertinya baik-baik dan perhatian
kepadaku. Ada juga teman sekobong yang usianya sudah tua,
tapi beliau sangat baik kepadaku, bahkan aku dianggapnya
sebagai anaknya sendiri. Memang ada 1-2 orang teman yang
kurang baik. Aku harus memakluminya karena inilah risiko
hidup dengan banyak orang, pasti semua orang memiliki sifat
dan karakter yang berbeda. Namun, itulah ujian untukku.
Keesokkan harinya aku mulai mengikuti Taklim. Umi
langsung berkata kepada seluruh santriwati yang saat itu
hadir, “Ieu aya santri anu enggal, nami na Neng Dini Lestari.
Dongkap ka dieu teh palay ngiringan ngaos di dieu. Tapi omat!
Neng Dini, ulah disina ka dapur, gugumbah wadah dan lain-
46
lain. Pangbaktosan weh Neng Dini ku sadaya na.”
Hari demi hari aku menjalani kehidupan di pesantren.
Senang sekali rasanya hati ini mendapatkan teman-teman
46
Ini ada santri yang baru, namanya Neng Dini Lestari. Datang ke sini ingin ikut
ngaji. Tapi awas! Neng Dini, jangan disuruh ke dapur, apalagi sampai disuruh nyuci piring
dan lain-lain. Buat semuan, tolong Neng Dini dibantu.
Roda Berputar dalam Cahaya | 87