Page 43 - USHUL FIKIH_INDONESIA_MAPK_KELAS XII_KSKK
P. 43

Allah menyuruh mengembalikan sesuatu yang diperselisihkan kepada Allah

                       dan Rasul. Yang diperselisihkan itu biasanya se suatu yang tidak ditetapkan Allah
                       secara  jelas  dan  tegas  dalam  firman-Nya.  Sedangkan  perintah  mengembalikannya

                       kepada Allah dan Rasul berarti menghubungkan hukumnya kepada apa yang pernah
                       ditetapkan oleh  Allah dalam  Al-Qur’an atau  yang ditetapkan Rasul dalam Sunah.

                       Cara  seperti  ini  disebut  qiyas  (سايقلا).Sedangkan  qiyas  itu  merupakan  salah  satu

                       bentuk ijtihad. Karena itu, suruhan (perintah) Allah untuk  mengembalikan sesuatu

                       kepada Allah dan Rasul ini berarti suruhan untuk berijtihad dan setiap suruhan itu

                       pada dasarnya adalah untuk wajib.
                              Seorang mujtahid dalam kehidupan sehari-harinya pada waktumengamalkan

                       ajaran  agama  sering  menemukan  hal-hal  yang  perludiselesaikan  dengan  ijtihad.
                       Bertaklid  kepada  orang  lain  tidak  diperbolehkanbagi  seseorang  yang  memiliki

                       kualifikasi  sebagai  mujtahid.Kalautidak  diperbolehkan  bertaklid,  berarti  ia  harus

                       berijtihad.  Kalautidakberijtihad,  maka  ia  tidak  akan  dapat  beramal,  karena
                       tidakmemperolehpetunjuk dari dalil yang kuat.Dalam kedudukannya sebagai  fâqih

                       yang  pendapatnya  akandiikuti  dan  diamalkan  oleh  orang  lain  yang  minta  fatwa
                       tentangsesuatu, maka hukum berijtihad tergantung kepada keadaan kondisimujtahid

                       dan umat di sekitarnya.
                              Bila  seorang  fâqih  ditanya tentang  hukum suatu kasus  yang telah  berlaku,

                       sedangkan ia hanya satu-satunya fâqih yang dapat melakukan ijtihad dan ia merasa

                       kalau tidak melakukan ijtihad pada saat itu akan berakibat kasus tersebut luput dari

                       hukum, maka hukum berijtihad bagi fâqih tersebut adalah wajib ‘ain (ينيعَبجاو).

                              Bila  seorang  fâqih  ditanya  tentang  hukum  suatu  kasus  yang  berlaku,
                       sedangkan  ia  adalah  satu-satunya  fâqih  waktu  itu,  tetapi  ia  tidak  khawatir  akan

                       luputnya kasus tersebut dari hukum, atau pada waktu itu ada beberapa orang fâqih

                       yang mampu melakukan ijtihad, maka hukum berijtihad bagi fâqih tersebut adalah
                       wajib  kifâyah  (ةيافكَبجاو).Hal  ini  berarti  bahwa  bila  untuk  menetapkan  hukum


                       sutau  kasus  tersebut  telah  ada  seorang  fâqih  yang  tampil  untuk  berijtihad,  maka
                       fâqih yang lain bebas dari kewajiban berijtihad. Namun bila tidak ada seorang fâqih

                       pun yang berijtihad, sehingga hukumnya luput, maka semua fâqih yang ada di situ
                       berdosa, karena meninggalkan kewajiban kifâyah.





                                                                           USHUL FIKIH  -  KELAS XII 34
   38   39   40   41   42   43   44   45   46   47   48