Page 82 - USHUL FIKIH_INDONESIA_MAPK_KELAS XII_KSKK
P. 82

Berbeda dengan ahli usul fikih di atas, ar-Râzîberpendapat bahwa ta‘âruḍ al-

                       adillahdapat  saja  terjadi  pada  dalil  qaṭ‘î  dengan  dalilzannî.  Hal  demikian  dapat
                       terjadi  kalau  yangqaṭ‘î  datang  lebih  dahulu  dari  dalil  zannîsehingga  sangat

                       dimungkinkan  yang datangkemudian dalam  hal  ini dalil  zannî  lebihdiamalkan dari
                       dalil qaṭ‘î. Hal ini terjadi,kalau dalil yang bersifat zannî ini memangada penjelasan

                       kepastian tentang datangnyalebih kemudian. Sebaliknya, jika dalil yangbersifat zannî
                       tersebut tidak ada penjelasanyang pasti tentang kedatangannya  lebihkemudian dari

                       dalil  yang  bersifat  qaṭ‘î  makadalam  konteks  demikian  yang  diamalkan

                       ataudidahulukan  adalah  dalil  yang  bersifat  qaṭ‘î.Jika  memang  adanya  kepastian
                       bahwa  dalilyang  bersifat  zannî  datang  lebih  kemudiandari  dalil  qaṭ‘î  maka

                       penyelesaiannya tidakmelalui tarjîḥ tetapi melalui an-naskh wa al-mansûkh.

                              Senada  dengan  ar-Râzî,  Kamâl  bin  Hammâm,  salah  satu  ulama  usul  fikih
                       darimazhab  Ḥanafiyyah  berpendapat  bahwata‘âruḍ  al-adillah  dapat  saja  terjadi

                       antaradalil  qaṭ‘î  dengan  dalil  zannî.  Menurut  beliau,sesungguhnya  tidak  ada
                       persyaratan  adanyakesamaan  kekuatan  dalam  dua  dalil  yangsaling  bertentangan.

                       Sebab, pendapat yangmensyaratkan adanya kesamaan kekuatandalam dua dalil yang
                       saling  bertolakbelakangdari  sisi  hukumnya  itu  didasarkan  padapendapat  yang

                       mengatakan bahwa ta‘âruḍal-adillah terjadi secara hakiki. Padahalta‘âruḍ al-adillah

                       itu hanya pada dataranlahiriyah, di mana diketahui adanya  ta‘âruḍal-adillah hanya
                       oleh ulama (mujtahid) sajabuka terjadi secara hakiki.

                    2.  Terjadinya kontradiksi antara dua dalil qaṭh‘î.
                              Mungkinkah  ada  dua  dalil  qaṭ‘î  yang  salingbertentangan?  Asy-Syaukânî,

                       dalam  bukunyaIrsyâd  al-Fuḥûl,  berpendapat  bahwa  tidak  mungkin  terjadi
                       pertentangan antara dua dalilqaṭ‘î, baik keduanya sama-sama berbentukʻaqli maupun

                       naqli.  Pendapat  senada  jugadikemukakan  oleh  al-Baidâwî,  al-Syairazî,Ibn  Subkhî

                       dan al-Âmidî.Memperhatikanpendapat-pendapat para ahli usul fikih ini,aṣ-Ṣhan‘ânî,
                       salah seorang ahli fikih mazhab Syâfi‘î berkesimpulan bahwa pendapat paraahli usul

                       fikih tersebut merupakan pendapatmayoritas ulama.

                    3.  Terjadinya ta‘âruḍ al-adillah antara dua dalil zanni.
                              Ta‘âruḍ  al-adillah  di  sini  dapatterjadi  karena  secara  ẓâhir  dan  hakiki  dari

                       duadalil        itu        sendiri.       Untuk          terjadinya        ta‘âruḍ
                       aladillahsecaraẓâhir,Asnawî,dalambukunya  Syarḥ  al-Asnawî,menyatakanbahwa

                       taʻâruḍ  al-adillah  sangat  mungkin  terjadi  antaraduadalil  zannî  dalam  pandangan
                       seorangmujtahid.Senada dengan Asnawî, Ibn al-Subkîmenyatakanbahwa ta‘âruḍ al-


                                                                           USHUL FIKIH  -  KELAS XII 73
   77   78   79   80   81   82   83   84   85   86   87