Page 127 - FIKIH_MA_KELAS X_KSKK_2020
P. 127
adalah mengolah atau menghidupkan lahan yang mati, atau lahan yang tidak bertuan
dan tidak dimanfaatkan oleh seseorang. Hukum iḥyā’ul mawāt adalah sunnah. Maka
setiap orang Islam dianjurkan menghidupkan lahan mati baik di daerah Islam atau di
selain daerah Islam.
Menurut Imam Zarkasyi, secara umum lahan dibagi menjadi tiga:
a. Mamlūkah
Yaitu lahan yang dimiliki seseorang baik dengan cara pembelian atau hasil dari
pemberian orang lain.
b. Maḥbūsah
Yaitu lahan yang tidak bisa dimiliki baik karena terikat dengan kepentingan
umum seperti jalan raya dan masjid atau kepentingan individu seperti barang
wakaf.
c. Munfakkah
Yaitu lahan yang tidak terikat dengan kepentingan umum atau kepentingan
indiidu. Yakni lahan mati yang bisa dimiliki dengan cara iḥyā’ul mawāt.
3. STRUKTUR IḤYĀ’UL MAWĀT
Struktur iḥyā’ul mawāt terdiri dari tiga rukun. Yakni muḥyī, muḥyā, dan iḥyā’.
a. Muḥyī
Yaitu orang yang melakukan iḥyā’ul mawāt. Syarat muḥyī harus seorang muslim jika
lahan yang akan diolah berada di daerah Islam. Ini adalah pendapat mażhab Syafi’i.
Sedangkan menurut pendapat lain kafir żimmī juga berhak untuk menghidupkan lahan
mati di daerah Islam, karena iḥyā’ul mawāt termasuk proses pemindahan kepemilikan
yang tidak membedakan antara muslim atau non muslim sebagaimana proses
pemindahan kepemilikan yang lain.
b. Muḥyā
Muḥyā adalah lahan mati yang akan diolah atau dihidupkan dengan cara proses
iḥyā’ul mawāt. Syarat muḥyā ada dua:
1) Belum pernah dimiliki seseorang di era islamiyah (setelah terutusnya nabi
Muhammad Saw.). Syarat ini meliputi dua hal, yakni belum pernah dimiliki
seseorang sama sekali atau pernah dimiliki pada era jahiliyah (sebelum terutusnya
nabi Muhammad Saw.) namun setelah nabi diutus tidak pernah dimiliki lagi.
2) Tidak berada di sekitar lahan hidup (lahan yang sudah diolah atau dihidupkan dan
dimiliki seseorang) yang disebut dengan ḥarīm.
FIKIH X 115