Page 153 - FIKIH_MA_KELAS X_KSKK_2020
P. 153
4) Selain ra’s al-māl harus diserah-terimakan di majlis akad, serah-terima juga
harus dilakukan secara tunai dan tidak boleh dilakukan dengan cara kredit
(mu’ajjal).
c. Muslam fīh
Muslam fīh adalah barang pesanan yang menjadi tanggungan (żimmah) pihak
muslam ilaih. Syarat-syarat muslam fīh ada empat:
1) Muslam fih harus berupa barang yang bisa dispesifikasi melalui kriterianya.
Barang yang tidak bisa dispesifikasi melalui kriterianya seperti barang yang
dimasak dengan api hukumnya masih diperselisihkan oleh beberapa Ulama.
Menurut mażhab syafii tidak diperbolehkan dijadikan sebagai muslam fīh.
Sedangkan menurut imam malik dan mażhab hambali diperbolehkan.
2) Muslam fīh harus berupa barang yang bisa diketahui jenis, macam, dan
kadarnya.
3) Muslam fīh harus berstatus hutang dan tanggungan (żimmah), Sehingga tidak
sah apabila berupa barang yang ditentukan (mu’ayyan).
4) Muslam fīh harus berupa barang yang tidak langka adanya.
D. AL-HAJRU
1. DEFINISI AL-HAJRU
Al- Hajru berasal dari al-hajr , hujranan atau hajara . Secara bahasa yaitu terlarang,
tercegah atau terhalang. Al- hajru adalah sebuah bentuk pengekangan penggunaan harta
dalam transaksi jual-beli atau yang lain pada sseorang yang bermasalah. Sedangkan
menurut istilah/syara’ al-hajru ialah tercegahnya seseorang untuk mengelola hartanya
karena adanya hal-hal tertentu yang mengharuskan adanya pencegahan.
2. DASAR HUKUM AL-HAJRU
Dasar hukum al-hajru atau mahjur yaitu sudah tertera didalam Al-Qur’an seperti
dibawah ini:
Dalil al-hajru atau mahjur yang pertama tertera dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah
ayat 282 yang berbunyi:
ْ َ
ا ُّ ْ َ
ا َ َ ْ َ
َ
ْ
َ
ْ ْ ٗ
َ ْ َ
َ ُ
ۗ َ
َ َ ا ْ َ ْ ا ْ َ ُّ َ
ْ
ُ ْ
ْ َ ْ
ُّ َ ْ ْ ُ
َ َ لدعلابَه َ يلوَللميلفَوهَلميَناَعيطتسيَلََّواَافيعضَواَاهيفسَقحلاَهيلعَيذلاَناكَنِاف
ِ
ِ
ِ
ِ
ِ
ِ
ِ
ِ
ِ
ِ
Artinya: “…..Maka jika orang yang berhutang itu adalah orang yang lemah akalnya atau
lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah
walinya mengimlakkan dengan jujur….”. (Q.S. Al-Baqoroh[2]:282)
FIKIH X 141