Page 165 - LITERASI-BUKU-SEBAGAI-SARANA-MENUMBUHKAN-KEPRIBADIAN-PESERTA-DIDIK-YANG-UNGGUL
P. 165
151
Lima menit kemudian, saat saya menunggu di bawah
tangga dekat Baskins and Robbins, sebuah mobil abu-abu
bergerak mendekati. Seorang perempuan muda keluar dari
pintu depan sebelah kiri. “Dik Ani?” “Mbak Tiwik, ya,” seru
kami hampir bersamaan. Kami berpelukan dan saling mencium
pipi. Laksana teman lama yang sudah bertahun-tahun berpisah.
Dengan baju panjang bermotif bunga dan kaus panjang
polos warna cokelat, serta jilbab simpel warna senada yang
ROSDA
menutupi hampir seluruh bagian dadanya, Ani tampak
amat sederhana. Tanpa make-up. Suaranya lembut, bahkan
cenderung pelan. Dari pintu kanan sopir keluar seorang laki-
laki muda, ganteng, dan kalem. “Ibnu, mbak. Suami Ani.”
Kami bersalaman, dan Ibnu meraih koper kecil saya untuk
ditaruh di bagasi. Saat saya duduk di jok belakang, seorang ibu
setengah baya, dengan bayi berusia 10 bulan di gendongannya,
mengangguk manis. Saya meraih memeluknya. Ibu Ani tampak
seperti kebanyakan orang-orang kampung yang polos dan
tulus. Sama seperti sosok saya yang selalu kurus, namun selalu
menjaga modal senyum. Saya seperti berada di tengah-tengah
keluarga saya. Apalagi setelah mengetahui bahwa keluarga
besar Ani berasal dari Tembelang, Jombang. Bahasa Jawa
Timuran yang mewarnai percakapan kami membuat suasana
semakin cair dan mengalir.
Meski saya belum lagi memulai wawancara saya, obrolan
kami sudah sarat dengan data bermakna. Dari jok depan, Ani
bercerita tentang film terbarunya tentang pemuda dan gerakan
anti korupsi. “Masih fresh, mbak. Bahkan belum ada master-
nya. Ini mau aku berikan ke Nia, tapi kok ketinggalan di
rumah tadi.” Ani menyebut Nia Dinata, produser film yang
selama ini banyak mewadahi karya-karya Ani di rumah
produksi Kalyana Shira. Ani juga menyebut hari-hari sibuknya