Page 48 - LITERASI-BUKU-SEBAGAI-SARANA-MENUMBUHKAN-KEPRIBADIAN-PESERTA-DIDIK-YANG-UNGGUL
P. 48
34
kembali ke pangkuan Amir, Amir pun membubuhkan tanda
tangannya dalam diam. Gurauan Amir ketika merespons
daftar hadir dalam kegiatan penyuluhan anak jalanan itu
menunjukkan penolakan—Bakhtin (1981) menyebutnya
‘parodi’—terhadap identitas situasional ‘anak jalanan’ yang
tersemat dalam tujuan kegiatan tersebut. Di jalanan, tidak
ada istilah ‘anak jalanan.’ Anak-anak yang bekerja di jalanan
dan keluarga mereka tidak pernah menyebut diri mereka
ROSDA
‘anak jalanan’ atau ‘anjal’ kecuali apabila menirukan istilah
yang populer diucapkan oleh masyarakat di luar komunitas
mereka. Istilah ‘anak jalanan’ adalah identitas yang disematkan
kepada mereka dalam kegiatan-kegiatan yang disponsori
pemerintah kota, LSM Pelangi, atau lembaga lain, dengan
tujuan untuk mengentaskan mereka dari kehidupan jalanan.
Singkatnya, istilah ‘anak jalanan’ adalah etic, bukan emic.
Identitas situasional—yang melekat pada konteks ruang dan
waktu yang spesifik—membuktikan bahwa ruang, atau lokasi,
harus dimaknai secara kritis. Lokasi penelitian dalam penelitian
etnografi bukanlah elemen metodologi yang ‘netral’ semata.
Dalam studi etnografi, lokasi memiliki makna dan berperan
dalam konstruksi identitas partisipan riset. Dalam pengertian
ini, lokasi bukan sekadar titik geografis. Lebih dari itu, lokasi
adalah ruang, yaitu latar dari sebuah aksi, panggung dari
realitas sosiokultural. Dalam pengertian Henri Lefebvre (1992),
konsepsi ruang terkonstruksi dalam relasi kekuasaan.
Dalam konteks ruang sebagai konsep yang diskursif,
pemahaman partisipan, yaitu anak-anak jalanan dan
keluarganya, tentang ruang menjadi penting. Dalam pengertian
ini, definisi ruang dikonstruksi dalam seperangkat sistem nilai