Page 239 - Kelas 12 Hindu BS press
P. 239
mengantarkan seseorang ke jurang neraka serta tidak dapat manunggal
dengan Ida Sang Hyang Widhi. Mata sebagai indra penglihatan digunakan
untuk menikmati hal-hal yang spiritual, telinga untuk mendengar diarahkan
untuk mendengar nama-nama suci dan segala hal yang berkaitan dengan
spiritual, demikian juga dengan indra-indra yang lainnya, semuanya ditarik
dari kenikmatan duniawi di arahkan kepada kenikmatan rohani. Dengan
demikian seseorang dapat memperoleh penguasaan penuh atas alat-alat
indra sehingga dapat manunggal dengan Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi.
Dharana atau pemusatan pikiran adalah tingkatan yoga yang keenam.
Dalam Patanjali Yoga Sutra III.1 disebutkan “deåa-bandhaå cittasya
dhâraña, menetapkan citta atau pikiran pada suatu tempat disebut
dharana”. Dharana dapat diibaratkan sebagai proses “mengetuk pintu”
menuju samadhi sehingga praktisi yoga yang telah menguasai dharana
secara sempurna dengan sendirinya terarahkan menuju pada samadhi.
Patanjali mengajarkan agar pemusatan pikiran harus hanya ditujukan pada
satu objek kontemplasi, tat-pratiæedhârtham eka-tattvâbhyâsai (Patanjali
Yoga Sutra I.32). Sehingga dalam proses dharana seorang praktisi yoga
dapat bermeditasi dengan memusatkan diri pada ujung hidung, pada berkas
cahaya, aksara suci OM atau simbol lain yang dibenarkan.
Dalam kehidupan sehari setiap orang hendaknya selalu mengingat
Ida Sang Hyang Widhi dan memusatkan pikiran kepada-Nya. Sesuatu
yang dipikirkan, dikatakan, dan dilaksanakan (dialami dan dikerjakan)
hendaknya dipersembahkan kehadapn-Nya. Kepada Tuhan/Ida Sang
Hyang Widhi kita patut mempersembahkan, karena itu merupakan jalan
untuk penyatuan kepada Brahman.
Dhyana disebut perbuatan renungan, pikiran seseorang merenungkan
adalah dhyata, dan tujuan renungan adalah dhiyaya. Oleh praktisi yoga
ketiganya (dhyana, dhyata, dan dhiyaya) masih dibedakan namun
dalam keadaan samadhi ketiganya lebur menjadi satu. Bila hal ini boleh
diasumsikan seperti pelukis dengan lukisannya, kondisi dhyana adalah
kondisi dimana sang pelukis masih berbeda dari gagasan untuk melukis
dan keduanya berbeda pula dengan lukisannya. Tetapi dalam keadaan
samadhi, pelukis tersebut menyatu dengan karyanya sehingga Ia (pelukis),
gagasan dan karyanya luluh menjadi satu.
Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti 229