Page 176 - Toponim Magelang_Final
P. 176
Toponim Kota Magelang 163
bergaris lingkar besar, berbatang lurus, dan sedikit cabangnya. Kayu jati terbaik biasanya
berasal dari pohon berumur lebih dari 80 tahun. Secara teknis, kayu jati memiliki kelas
kekuatan dan kelas keawetan. Kayu ini sangat tahan terhadap serangan rayap. Kayu
teras jati berwarna coklat muda, coklat kelabu hingga coklat merah tua. Kayu gubal
(bagian luar), berwarna putih dan kelabu kekuningan. Meskipun keras dan kuat, kayu
jati mudah dipotong dan dikerjakan, sehingga disukai untuk membuat perlatan rumah
tangga dan ukir-ukiran. Kayu yang diampelas halus memiliki permukaan yang licin dan
seperti berminyak. Pola-pola lingkaran tahun pada kayu teras nampak jelas, sehingga
menghasilkan gambaran yang indah. Dengan kehalusan tekstur dan keindahan wama
kayunya, jati digolongkan sebagai kayu mewah. Karena itulah kayu jati banyak diolah
menjadi mebel taman, mebel interior, kerajinan, panel, dan anak tangga yang berkelas.
Kedekatan manusia Jawa era awal Mataram Islam dengan pohon jati termaktub dalam
ungkapan lokal. Contohnya, “tunggak jarak padha mrajak, tunggak jati padha mati”. Artinya,
tonggak pohon jarak bertunas kembali, tonggak pohon jati malah mati. Dalam sejarah
Dinasti Mataram Islam, petuah itu cukup populer. Peribahasa ini menggambarkan
situasi di mana keturunan orang kecil banyak yang sukses jadi pembesar, sementara
keturunan para pembesar malah banyak yang tidak mewarisi kedudukan orang tuanya.
Contoh petuah lainnya yang mengambil kearifan hidup orang Jawa, yakni “aji godhong
jati aking”. Artinya, lebih berharga daun jati kering. Peribahasa ini menggambarkan
bagaimana harkat dan martabat seseorang yang sudah demikian jatuh (tidak berharga
lagi) karena ulah perbuatannya sendiri. Demikian buruk ulah perilaku tersebut
membuat dirinya tidak dihargai lagi oleh orang lain. Ibarat lebih berharga daun jati
yang kering dan gugur ke tanah menjadi seresah di musim kemarau.
Keberadaan pepohonan jati di Magelang tempo dulu memberi manfaat langsung
pada masyarakat. Sekadar sebagai pembungkus makanan dan barang, atau cabang dan
ranting jati menjadi bahan bakar bagi banyak rumah tangga di desa. Dari hutan jati
mereka memperoleh penghasilan. Yang pasti, relasi harmonis masyarakat dan unsur
kemanfaatan pohon jati dalam kehidupan akhirnya mendorong lahirnya toponim Jaten.