Page 12 - e-modul bab 4 PAI
P. 12

Istilah mazhab dalam realitasnya tidak hanya digunakan dalam
                   konteks  fikih,  tetapi  juga  dalam  bidang  akidah  dan politik.  Sebagai
                   contoh, Abu Zahrah menulis buku yang berjudul Târîkh al-Madzâhib
                   al-Islâmiyyah:  Fî  as-Siyâsah,  wa  al-„Aqâ‟id  wa  Târîkh  al-Fiqh  al-
                   Islâmi  (Sejarah  aliran-aliran Islam:  Aliran  Politik  dan  Akidah  serta

                   Sejarah  Fikih  Islam).  Ia  juga  menegaskan  bahwa  semua  mazhab
                   tersebut  masih  merupakan  bagian  dari  mazhab  Islam.  Abu  Zahrah
                   kemudian  melakukan  klasifikasi  mazhab  Islam  sebagai  berikut:
                   mazhab politik, (seperti Syiah, Khawarij, Ahlussunnah dan Murjiah),
                   mazhab  akidah  (seperti  Jabariyah,  Qadariyah  [Muktazilah],
                   Asy‟ariyah, Maturidiyah, Salafiyah dan Wahabiyah) dan mazhab fikih
                   (semisal  Hanafiyah,  Malikiyah,  Syafiiyah,  Hanabilah,  Zahiriyah,
                   Zaidiyah  dan  Ja„fariyah).  Selain  itu,  istilah  mazhab  juga  dipakai
                   dalam persoalan qiroah (seperti mazhab Ibnu Katsir, Nafi, Khafs, dll.)
                          Secara  faktual,  potensi  intelektual  yang  diberikan  oleh  Allah

                   kepada  masing-masing  orang  jelas  berbeda.  Dengan  perbedaan
                   potensi  intelektual  tersebut,  mustahil  semua  orang  bisa  menarik
                   kesimpulan yang sama ketika berhadapan dengan nas-nas (teks-teks)
                   syariah. Belum lagi uslûb (ungkapan dan gaya bahasa) al-Quran dan
                   hadis  Nabi  -yang  berbahasa  Arab-  mempunyai  potensi  multi-
                   interpretasi, baik karena faktor ungkapan maupun tarkîb (susunan)
                   kalimatnya.

                          Oleh karena itu bisa disimpulkan bahwa terjadinya perbedaan
                   pendapat  yang  melahirkan  beragam  mazhab  merupakan  suatu
                   keniscayaan.  Namun  tidak  berarti,  bahwa  keniscayaan  tersebut
                   bersifat  mutlak  dalam  segala  hal.  Demikian  pula  potensi  nas-nas
                   syariah untuk bisa ditafsirkan secara beragam juga tidak berarti bebas
                   dilakukan  dengan  bentuk  dan  metode  apapun.  Untuk  kepentingan
                   itulah para ulama telah membagi nas-nas syariah menjadi dua, yakni
                   qath‟i dan dzanni.
                          Qath‟i  artinya  mutlak,  absolut  dan  bebas  dari  penafsiran.
                   Sementara  dzanni  artinya  interpretatif  dan  mungkin  ditafsirkan.

                   Pada nas-nas yang bersifat qath‟i biasanya para ulama sepakat untuk
                   tidak  berusaha  menafsirkannya.  Sebab  selain  topik  pembahasannya
                   berkenaan  dengan  ajaran  Islam  yang  pokok  dan  mendasar  (seperti
                   kewajiban  sholat,  zakat,  puasa,  haji,  dll.),  makna  lahiriyah  nas-nas
                   qath‟i umumnya sudah jelas dan langsung dapat difahami. Sementara
                   itu, untuk nas-nas yang bersifat dzanni, para ulama banyak berbeda
                   pendapat dalam memahaminya. Keadaan ini bisa dimengerti karena

                   nas-nas  dzanni  sangat memungkinkan untuk bisa  diinterpretasikan
                   lebih dari satu makna/maksud. Selain itu,  kondisi  para ulama yang


                                                           11
   7   8   9   10   11   12   13   14   15   16   17