Page 9 - e-modul bab 4 PAI
P. 9

ma‟ahu”  artinya  “Saya  berkata  dengannya”,  “hadits  al-ifk”  artinya
                   “cerita bohong”, dan “hadits adhim” artinya “kejadian besar”.
                          Adapun  secara  terminologis,  menurut  Manna‟  al-Qatthan
                   (1987:5) adalah:

                                                                ِ
                                                                       ِ
                                                       ِ
                                                          ِ
                                                         ا       و         أو     ا   َ  ْ  ِ             أ     َ  ِ          ِ ب    ا    ء ج  ُ َ                  ُ
                                                                   ْ
                                                                          ْ
                                                           َْ
                                                                                         َ َ
                                                        َْ َ
                                                                  َ َ
                                                                         َ
                    “Segala  sesuatu  yang  datang  dari  Nabi  Muhammad,  baik  berupa  perkataan,
                    perbuatan, maupun ketetapannya.”

                          Maksud dari „taqrir‟ (ketetapan) Nabi SAW adalah pembenaran
                   beliau  terhadap  sikap,  perilaku,  atau  perkataan  para  sahabat,  baik
                   yang  mereka  lakukan  di  hadapan  beliau  atau  yang  disampaikan
                   kepada beliau (Qatthan, 1987:6).
                          Dilihat dari sisi historis, keberadaan hadis berbeda dengan al-
                   Qur‟an. Al-Qur‟an telah dimulai penulisannya sejak jaman Nabi SAW,
                   namun baru dikodifikasi (dikumpulkan) menjadi mushaf yang utuh
                   pada  jaman  Khalifah  Usman  bin  „Affan.  Akan  tetapi  hadis  tidak
                   demikian halnya. Ia baru ditulis pada jaman Khalifah Umar bin „Abd

                   al-Aziz  pada  Dinasti  Umayyah.  Khalifah  Umar  bin  Abdul  Aziz  lah
                   yang  menjadi  penggagas  kodifikasi  hadis.  Tindakan  beliau
                   dilatarbelakngi  oleh  kekhawatiran  akan  hilangnya  hadis-hadis  Nabi
                   SAW yang tercerai berai di kalangan para sahabat, mengingat jumlah
                   sahabat Nabi kian hari semakin berkurang karena meninggal dunia,
                   baik dalam ajang pertempuran  atau karena sebab yang lain (Maliki,
                   1990:22-23).

                          Hubungan  antara  hadis  dengan  al-Qur`an  adalah  sebagai
                   penjelas  dan  penafsir  al-Qur`an.  Syeikh  Maliki  (1990:12-14)
                   menjelaskan  bahwa  hadis  mempunyai  peranan  sebagai  bayan
                   (penjelas)  terhadap  kandungan  al-Qur`an.  Karena  itu,  bagi  umat
                   Islam  keberadaan  hadis  dalam  proses  penetapan  hukum  tidak  bisa
                   diabaikan,  karena  ia  menjadi  penjelas  manakala  al-Qur‟an  belum
                   secara  tegas  dan  rinci  memberikan  landasan  hukum.  Namun
                   demikian  tidak  semua  hadis  dapat  serta  merta  menjadi  landasan
                   hukum, ada hadis yang layak dijadikan landasan hukum dan ada yang
                   tidak, semua bergantung kualitas hadis tersebut.

                          Menurut al-Qaththan (1987:21), mayoritas ulama fikih berpen-
                   dapat  bahwa  hadis  yang  dapat  digunakan  sebagai  pijakan  hukum
                   adalah  hadis  shahih  dan  hasan,  sementara  hadis  dha‟if  tidak  bisa
                   digunakan.  Akan  tetapi  dalam  hal  fadhail  al-a‟mal  (keutamaan
                   ibadah), hadis dhaif masih bisa digunakan.




                                                           8
   4   5   6   7   8   9   10   11   12   13   14