Page 240 - Seni_Teater_BG_KLS_IV_Rev
P. 240

Melihat kondisi itu, sebenarnya Ibu sudah berulang kali mengingatkan
                     Darmi untuk tidak bersikap demikian. Dengan nada lembut karena khawatir
                     anaknya menjadi tersinggung, ibu pun mencoba menasihati Darmi lagi.

                         “Darmi, sudah berapa kali Ibu mengingatkan! Kamu itu jangan boros

                     dan jangan belanja sesuatu yang tidak dibutuhkan,” nasihat Ibu kepada
                     Darmi suatu sore di teras rumah.

                         Mendengar Ibu selalu membahas hal itu berulangkali, Darmi sangat
                     marah. Dengan suara lantang, Darmi berdiri sambil menunjuk ibunya, “Ibu,
                     apa salahnya aku beli baju, makanan enak, dan perhiasan? Kan semuanya

                     Darmi pakai. Ibu sendiri kan yang pernah bilang bahwa apa pun yang Ibu
                     miliki, itu juga menjadi milik Darmi. Apa ada yang salah?”

                         Mendengar jawaban itu, Ibu merasa sedih dan menangis. Anaknya yang
                     sangat ia sayangi dan berharap menjadi anak yang baik, anak yang berguna,
                     dan berbakti kepada orang tua, kini malah berani membentak dirinya.

                         Dengan isak tangis ibunya berkata, “Darmi, sadarlah, Nak. Ingat kepada
                     Tuhan, jangan bersikap seperti itu kepada orang tua!”


                         Melihat ibunya menangis, tidak membuat Darmi merasa kasihan atau
                     iba. Justru semakin murka dengan nada ketus dan membelakangi ibunya.

                           “Nangis lagi? Ibu hanya bisa menangis terus. Lagian siapa yang
                     menginginkan Darmi dilahirkan di keluarga yang miskin seperti ini! Tidak
                     seperti keluarga orang kaya yang bisa sepuasnya memiliki apa saja yang
                     diiinginkan. Tidak tinggal di rumah reyot seperti ini.”

                         Semakin hari Darmi bukannya semakin sadar, malah semakin menjadi.

                     Setiap hari kerjanya hanya bersolek dan memanjakan dirinya, tak sekalipun
                     mau membantu ibunya. Jangankan membantu ibunya bekerja di ladang.
                     Pekerjaan rumah, seperti menyapu halaman dan menyapu rumah pun
                     tidak pernah dilakukannya. Melihat tingkah laku anaknya seperti itu, ibunya

                     hanya bisa mengelus dada dan berdoa kepada Tuhan supaya anaknya
                     segera dibukakan pikirannya.

                         Di suatu siang yang panas, tiba-tiba Darmi masuk ke rumah dengan
                     marah-marah.

                         “Huhh... sudah jauh-jauh pergi ke pasar, ada baju yang baguuus sekali.
                     Sial! Uangku tidak cukup. Ya begini kalau jadi anak orang miskin.”







                   2 2 8      P a n d u a n  G u r u  S e n i   T e a t e    u n t u k   S D / MI  K e l a s   IV   ( E di s i   R e v i s i
                   228    Panduan Guru Seni Teaterr untuk SD/MI Kelas IV (Edisi Revisi))
   235   236   237   238   239   240   241   242   243   244   245