Page 158 - ORASI ILMIAH PROF. DR. POPPY ANDI LOLO SH. MH.
P. 158
157
pekerjaan tertentu, maka korban akan menanggung akibatnya, baik
secara fisik ataupun psikis. Selain itu, pelaku perdagangan orang (trafficker)
dalam melakukan kegiatannya dengan cara perekrutan, pengangkutan,
pemindahan, penyembunyian, atau penerimaan orang, dengan cara
menjebak, menjerumuskan, atau memanfaatkan orang tersebut dalam
praktik eksploitasi dengan segala kekerasan dan atau ancaman
kekerasan, penculikan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi
rentan, memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan
dari orang yang memegang kendali atas korban. Korban akhirnya tidak
mampu menolak suatu pekerjaan yang secara melawan hukum
diperintahkan oleh orang lain (trafficker), walaupun korban tidak
menghendakinya. Pelaku tindak pidana perdagangan orang tidak selalu
dilakukan perorangan tetapi juga oleh korporasi dan penyelenggara negara
dengan menyalahgunakan kekuasaan (a buse of power), sehingga bentuknya
melalui suatu jaringan illegal tentang perdagangan orang yang sudah meluas
dalam bentuk jaringan dan dilakukan secara terorganisasi atau tidak; dengan
jangkauan operasionalnya tidak hanya antar wilayah dalam negara,
tetapi meliputi batas negara, dan antar negara. Terbentuknya jaringan dan
keterlibatan secara massal menyebabkan kejahatan ini semakin kuat dan
semakin meluas dari satu tempat ke tempat lain baik secara lokal, regional
maupun antar negara.
Dalam catatan kriminalitas tersebut dan dalam kaitannya dengan
kegiatan eksploitasi seksual, maka hukum pidana Undang-Undang Tindak