Page 339 - S Pelabuhan 15.indd
P. 339

ATLAS  PELABUHAN-PELABUHAN  BERSEJARAH  DI  INDONESIA







            Surabaya, dan Semarang, pelabuhan-pelabuhan di luar Jawa juga tidak mendapat

            perhatian dari pemerintah kolonial. Mereka dibangun sebagai pelabuhan bebas tapi
            tidak disertai dengan perawatan dan fasilitas penunjang.


            Akhir abad ke-19, pelabuhan-pelabuhan penting di luar Jawa baru mendapat perhatian
            dari pemerintah kolonial. Perhatian ini berjalan seiring dengan perkembangan
            pelayaran perdagangan dan meningkatnya kepentingan ekonomi pemerintah kolonial
            di daerah luar Jawa.


            Pada awal abad 20, pemerintah kolonial meningkatkan fasilitas untuk pelabuhan kecil
            di luar Jawa. Rel kereta api dan stasiun dengan nama Kertapati, juga dibangun untuk

            menghubungkan dengan daerah pedalaman (hinterland). (Sulistiyono 2003:104)
            Pembangunan pelabuhan tidak hanya pada peningkatan fasilitas, tapi juga perbaikan
            manajemen. Hal ini merupakan kemajuan dibandingkan dengan sebelumnya. Selama
            abad ke-19, pemerintah kolonial mengontrol hampir semua pelabuhan yang tidak
            dikelola secara modern, tapi hanya untuk melayani kepentingan eksploitasi.


            Dalam jangka waktu lama, pemerintah kolonial tidak menemukan cara untuk
            mengatur pelabuhan. Tapi akhirnya ia pun mempelajari manajemen pelabuhan seperti

            Eropa Barat. Fasilitas dan manajerial pelabuhan-pelabuhan harus dimodernisasi.
            Untuk tujuan ini, Kraus dan Jong diundang untuk memberikan kuliah di tahun 1910
            mengenai manajemen pelabuhan yang baik bagi pelabuhan besar maupun kecil. Pada
            awalnya, manajemen baru diterapkan pada pelabuhan-pelabuhan besar dan perlahan-

            lahan diaplikasikan ke pelabuhan-pelabuhan kecil. Salah satu contoh modernisasi
            pelabuhan adalah dengan adanya asisten komisi (assistance commission). Pada tahun
            1925 telah terdapat 5 asisten komisi. Dengan adanya sistem manajerial yang baru,
            pemerintah mengkategorikan pelabuhan kecil menjadi pelabuhan untuk pelabuhan

            dagang dan pelabuhan bukan untuk pelabuhan dagang.

            Pada abad ke-19 terjadi persaingan yang tajam dalam dunia pelayaran antara Belanda

            dan Inggris di perairan Asia  Tenggara. Inggris meminta agar Belanda membuka
            pelabuhan di daerah koloninya bagi pelayaran internasional dalam rangka perdagangan
            bebas. Lain halnya dengan Belanda yang cenderung untuk mempertahankan sistem
            monopolinya dan merespon permintaan Inggris dengan setengah hati. Persaingan

            menjadi semakin tajam antara keduanya setelah Raffl  es membuka Singapura sebagai
            pelabuhan bebas tahun 1819. Pelabuhan ini dijadikan pusat pelayaran Inggris di
                                                                                                               327
   334   335   336   337   338   339   340   341   342   343   344