Page 122 - Kebijakan Reforma Agraria di Era SBY
P. 122
Kedua aktor di atas sesungguhnya berada pada jalur
yang sama, yakni pendukung reforma agraria. Meskipun agak
sedikit berbeda dalam “lapangan kerjanya”, KPA cenderung
pada advokasi kebijakan sedangkan FSPI fokus pada kerja-
kerja pengorganisasian masyarakat. Selain itu, terdapat juga
pendukung Tap MPR lain, yakni para pengusung “Pengelolaan
Sumber Daya Alam (PSDA)” yang kemudian secara intensif
bekerja sama dengan Kementerian Negara Lingkungan Hidup dan
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) untuk
merancang UU Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Beberapa temuan lapangan di atas ketika disandingkan
dengan kenyataan lain pada level kebijakan, sejalan dengan
pernyataan yang disampaikan oleh Konsorsium Pembaruan
Agraria (2019) berikut ini:
“Pasca reformasi, agenda reforma agraria yang sempat terkubur semasa
orde baru sebenarnya kembali hidup dan melahirkan harapan rakyat
dan kaum tani akan terciptanya struktur agraria yang lebih adil dan
menyejahterakan. Hal tersebut tecermin melalui Tap MPR No. IX/2001
yang mengamanatkan Presiden RI dan DPR RI melakukan koreksi atas
tumpang tindih regulasi yang menyebabkan konflik agraria di lapangan.
Begitu pula dalam setiap pergantian rezim pemerintahan, reforma agraria
selalu mendapat tempat melalui janji politik presiden terpilih”
Demikian halnya dengan politisi. BS memandang bahwa
pada saat itu reforma agraria dia maknai sebagai peluang bagi
masyarakat untuk memperoleh hal yang semestinya dia peroleh.
Reformasi membuka kesempatan masyarakat untuk secara
terbuka menyampaikan tuntutannya. Ia menjelaskan bahwa saat
era orde baru, ketika ia bergerak untuk membantu perjuangan
di Caruy, sudah dikejar-kejar oleh tentara. Sekarang ini, petani
secara langsung mempunyai keberanian untuk menuntut haknya,
Atrikulasi Kepentingan Petani 105