Page 132 - Kebijakan Reforma Agraria di Era SBY
P. 132
“Kalau demo kita paling ya ke kabupaten, kalo ga ya ke provinsi, atau di
BPN, atau di Gedung DPR. Kalau di Jakarta ya di Istana. Kalo saya sering
demo itu tahun 99, 2001 sama 2004. Itu satu tahun itu kita demo bisa
lebih dari 3 kali. Kita gabungan dengan serikat tani Jawa Timur, terus dari
Klaten, Sleman, dan sebagainya. Itu ke istana, ke DPR, terus pas ke istana
pernah diterima beberapa orang untuk masuk di istana, ditemui oleh staf
kepresidenan waktu itu awal SBY jadi presiden, waktu Megawati sekali pas
jadi presiden.” (Wawancara, 23/12/2018).
SUT (petani penggarap) juga menyampaikan bahwa sarana
demonstrasi sebagai instrumen untuk menunjukkan keberadaan
petani. Ia menceritakan:
“Dulu kalau kita mau demo sampai 5 truk, jadi kita terkenal sebagai
gudangnya orang demo. Kita itu dulu sering demo menunjukkan ke
pengambil kebijakan..... Kita tunjukkan, ‘Ini lho wajah-wajahnya memang
petani banget, wajah-wajah yang selama ini tertindas’ kaya gitu. Jadi kita-
kita demo di kabupaten, Semarang, di DPR RI, ya kita memang demonya
orisinil, resmi kaya gitu. Artinya tidak ditunggangi siapa pun.” (Wawancara,
21/11/2018).
JR (RAB) mengungkapkan bahwa cara-cara demonstrasi
sering digunakan oleh para aktivis dan petani agar pemerintah
segera menjalankan reforma agraria. Ia juga menyatakan kalau
demonstrasi digunakan pada saat terjadi penangkapan petani.
Keempat, advokasi kebijakan. Advokasi kebijakan biasanya
dilakukan oleh jaringan LSM, akademisi, dan jaringan serikat
tani. Menurut Fauzi (2019), perubahan kesempatan politiklah
yang memungkinkan aspirasi dari mobilisasi massa hingga
pembentukan asosiasi-asosiasi organisasi gerakan agraria
bergerak dari tingkat lokal ke tingkat nasional, yang di
antaranya melalui scholar activist. Sidang-sidang tahunan
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada 1999 hingga 2001
terbentuk sebagai bagian dari transisi politik nasional setelah
Atrikulasi Kepentingan Petani 115