Page 137 - Kebijakan Reforma Agraria di Era SBY
P. 137
“Ya kalau menurut pendapat kami sih sedari awal organisasi serikat
tani itu mewanti-wanti manakala ada kompensasi pasti yang terjadi
masyarakat yang tidak mampu tidak bisa bayar kompensasi dan akhirnya
diperjualbelikan. Kan terbukti di lapangan dengan berbagai alasan ya ada
yang letaknya jauh, ada yang tidak mampu bayar kompensasilah sehingga
terjadinya jual beli lahan.” (Wawancara, 28/12/2018).
Hal senada diutarakan juga oleh ED (petani). Menurutnya,
kompensasi justru membuat masalah baru akan timbul. Dari
kompensasi itu akan muncul jumlah uang yang tidak sedikit. Hal
ini akan berdampak pada kemungkinan penyalahgunaan uang
tersebut. Tentang hal ini, SG (SeTAM) memprediksi dari awal.
Pada saat bertemu dengan JW, ia sempat mengatakan bahwa
akan terjadi pasar tanah. Nantinya, orang yang tidak punya
uang dan tidak mampu bayar kompensasi akhirnya dikoordinasi
dikumpulkan oleh panitia dan oleh mereka tanahnya ditawarkan
ke pembeli. SG menyatakan hal ini saat mengonfirmasi tentang
pembelian lahan oleh orang yang membeli lahan dengan alasan
membantu pembayaran kompensasi.
Adapun pada sisi PT RSA, mereka berpendapat bahwa para
petani harus memberikan kompensasi tersebut karena PT RSA
telah kehilangan HGU akibat dari tindakan penyerobotan lahan
yang dilakukan oleh petani. Bagi mereka, penyerobotan lahan
yang sudah dilakukan semenjak lama merugikan keuangan
perusahaan. Dalam situasi demikian, BPN memandang bahwa
perlu adanya jalan tengah di antara kedua pendapat tersebut.
Di tengah polemik antara SeTAM dan PT RSA, para kepala
desa, baik yang setuju dengan reforma agraria maupun yang tidak
setuju, bersepakat untuk mencari jalan tengah tersebut dengan
berupaya mengurangi jumlah kompensasi. Kompensasi ini
merupakan biaya ganti rugi yang diminta PT RSA sebagai imbal
120 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono