Page 138 - Kebijakan Reforma Agraria di Era SBY
P. 138
balik dari lahan hak guna usahanya yang akan didistribusikan
kepada masyarakat. Menurut cerita mereka, kompensasi yang
2
pada awalnya sebesar Rp2.500,00/m pada akhirnya bisa ditawar
2
hingga Rp1.500,00/m .
Upaya yang dilakukan oleh para kepala desa ini tetap
tidak diterima oleh SeTAM. Namun demikian, SeTAM memberi
kebebasan kepada para petani untuk menerima atau menolak
kompensasi tersebut. Pada akhirnya, hampir seluruh petani
menerima syarat kompensasi tersebut. Berdasarkan temuan
lapangan, para petani terpaksa menerima kompensasi dengan
alasan jika mereka tidak menerima maka persoalan kasus tanah
ini tidak kunjung selesai. Hal lain yang juga memengaruhi mereka
menerima kompensasi adalah karena tambahan penerima lainnya
yang sebelumnya mereka tidak pernah terlibat dalam perjuangan.
Tetapi kemudian, berdasarkan keputusan BPN, mereka menerima
pembagian lahan. Pendapat ini disampaikan oleh SRW (SeTAM)
sebagaimana berikut ini:
“Saya juga berbeda pendapat dengan Mbah SG ketika menyikapi adanya
kompensasi. Saya menilai dalam kondisi sekarang, agar masyarakat tidak
jenuh, mau tidak mau kompensasi kita terima. Daripada semakin lama.”
(Wawancara, 23/12/2018).
Bagi masyarakat yang mampu, nilai tanah sebesar
2
Rp1.500,00/m dinilai murah. Namun bagi masyarakat yang tidak
mampu—tetapi tidak ikut berjuang—,tanah tersebut bisa dijual
ke pihak lain. Di sinilah cikal bakal penyebab terjadinya jual beli
lahan di Cipari.
Hal lain yang juga patut menjadi perhatian adalah terkait
distribusi dengan pola bagirata. SG (SeTAM) merasa bahwa
reforma agraria yang dijalankan jadi melenceng dari niat awal.
Atrikulasi Kepentingan Petani 121