Page 151 - Kebijakan Reforma Agraria di Era SBY
P. 151
“Nah, untuk kesejahteraan tanah ini diberikan saja kepada petani. Jangan
diberikan kepada yang lain. Ketika itu saya ngomong begitu dengan pak
camat dan kepala desa itu tidak dipercaya. Sehingga 5 kepala desa itu,
Mekarsari, Caruy, Sidasari, Kutasari dan Karangreja, kumpul bareng kepala
desanya yang notabenenya tidak mengerti kepentingan petani sehingga
mereka bersepakat dibagi 35 ubin.” (Wawancara, 21/11/2018).
Secara tidak langsung, STR (Kades Sidasari) juga mengakui
pernyataan tersebut. Ia menjelaskan:
“Ya yang pertama sih dari tingkat bawah dulu. Itu, tetapi dari bawah pun
tetep itu diiringi dengan 5 kepala desa dan kepala desa mengajak dari
pertanahan. Ada rapatnya di Semarang beberapa kali, sampai bosan.”
(Wawancara, 21/11/2018).
Rapat yang terjadi secara berulang-ulang dan tidak
melibatkan SeTAM inilah yang menjadi bukti pengambialihan
oleh elite desa, di mana sampai kemudian muncul kompensasi.
Dalam konteks politik, seharusnya kelompok tani dan gerakan
tani yang melakukan pembelaan dilibatkan dalam proses. Hal ini
dikatakan SRW (SeTAM) saat ditanya kondisi ideal semacam apa
dalam proses reforma agraria. Berikut jawaban dari SRW:
“Ya menurut saya yang sesuai di wilayah desa kan ada kelompok tani. Itu
masing-masing kelompok tani itu harus dikasih sesuai dengan data yang
dikasih, yang ikut berjuang sehingga model pembagiannya juga tepat
sasaran.” (Wawancara, 23/12/2018).
Tidak dilibatkannya petani penggarap dalam proses
pembagian lahan juga diungkapkan oleh KRD (petani penggarap).
“Enggak, jadi dulu itu sudah dibagi oleh dari pusat itu. Bukan dari
masyarakat bukan. Jadi, pemerintah daerah punya itu yang mengatur
pembagian.” (Wawancara, 21/11/2018).
134 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono