Page 62 - Kebijakan Reforma Agraria di Era SBY
P. 62
Di dalam perumusan kebijakan reforma agraria terdapat
pertarungan kepentingan antar aktor. Pada masa penjajahan
Belanda, langkah yang dilakukan para petani didorong oleh adanya
kebutuhan masyarakat akan perlunya menanam tanaman pangan
untuk kehidupan sehari-hari, serta terdapat pula kebutuhan untuk
hunian mereka. Pada sisi negara, Belanda menerapkan asas domein
verklaring, yang secara sederhana diartikan bahwa tanah yang
belum berpenghuni akan dianggap sebagai tanah milik negara.
Hukum agraria zaman kolonial sangat eksploitatif, dualistik, dan
feodalistik, yang jelas sangat bertentangan dengan kesadaran
hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat (Mahfud 2012,
119). Keberadaan asas domein verklaring dalam agrarische wet
itulah yang memantik para pendiri bangsa Indonesia melakukan
refleksi. Bentuk nyata dari pemikiran tersebut diwujudkan dalam
bentuk terumuskannya kebijakan Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA) 1960. UUPA dijadikan oleh pemerintahan Soekarno
sebagai untuk menghentikan ketidakadilan agraria di Indonesia
dan memutus rantai kebijakan agraria zaman kolonial (Fauzi,
2012; Harjono, 1970).
Dalam konteks tanah di Cipari, pada 1923, pemerintah
Belanda memberikan tanah tersebut kepada perusahaan milik
orang Belanda. Di masa tersebut sampai dengan tahun 1958,
istilah land reform belum menjadi bagian dari istilah di kalangan
para petani. Barulah ketika Barisan Tani Indonesia (BTI) turut
mendorong lahirnya kebijakan land reform, para petani mulai
mengenal istilah tersebut. Di zaman itu, para petani melakukan
aksi-aksi pendudukan lahan di tanah perkebunan dengan slogan
tanah untuk penggarap. Namun demikian, upaya para petani
tersebut tidak berhasil. Justru yang terjadi kemudian, bisnis
Pertarungan Kepentingan dan Perebutan Kuasa Agraria 45