Page 67 - Kebijakan Reforma Agraria di Era SBY
P. 67
kembali kepada masyarakat. Namun demikian, sejatinya mereka
tidak mempunyai pemikiran tentang reforma agraria. Hingga
kemudian, saat pemerintah daerah dan BPN meminta agar kasus
ini segera diselesaikan dan pada sisi lain PT. RSA menginginkan
kompensasi, maka kedua kepentingan ini pun bertemu.
Tahap berikutnya adalah proses tawar-menawar kompensasi
yang terjadi antara PT. RSA dankepala desa, di mana para petani
tidak lagi dilibatkan langsung dalam proses tersebut. Bagi para
petani, inilah momentum di mana perjuangan mereka telah
diambil alih oleh pemerintah desa. Tidak hanya berhenti pada
kompensasi, kepala desa juga kemudian menyetujui penambahan
jumlah penerima tanah yang awalnya sejumlah 2.000-an orang,
kemudian menjadi 5.141 orang. Dengan bertambahnya jumlah
orang yang mendapatkan tanah, maka pada akhirnya rata-rata
2
petani hanya mendapatkan lahan sejumlah 500 m .
Adanya kompensasi juga berdampak buruk. Kompensasi
menjadi jalan terjadinya jual beli lahan, baik sebelum maupun
sesudah redistribusi dilakukan. Keberadaan kompensasi yang
mempunyai tenggat waktu yang cepat berakibat pada banyak
di antara petani dan calon penerima tanah yang tidak mampu
membayar biaya kompensasi. Melihat kondisi tersebut, para
kepala desa berinisiatif menggandeng pembeli lahan untuk
meminjamkan uang terlebih dahulu. Uang tersebut dapat
juga dijadikan sebagai panjer (baca: uang muka). Jadi, apabila
ternyata petani atau calon penerima tanah tidak dapat membayar
kompensasi, maka tanah tersebut akan menjadi tanah yang
dimiliki pemilik lahan.
Para petani, khususnya yang sudah berjuang dari awal,
menganggap keberadaan kompensasi berarti akan membuat
50 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono