Page 70 - Kebijakan Reforma Agraria di Era SBY
P. 70
partai cukup membantu dalam proses melakukan advokasi dan
memperjuangkan kasus yang dihadapi. Namun demikian, dalam
konteks yang lebih substantif, interaksi antara gerakan petani,
masyarakat sipil, dan politisi tidak berjalan sebagaimana harapan
dari petani.
Kesepahaman tentang reforma agraria antara SeTAM dan
masyarakat sipil dengan JW hanya berhenti pada tataran konsep.
Pada realitas di lapangan konsep yang dipahami bersama
tersebut tidak terjadi. BPN justru menyepakati kompensasi
yang ditawarkan oleh PT. RSA. BPN juga yang mendorong untuk
membagi lahan dengan cara memperluas para penerima lahan.
Padahal, para calon penerima lahan tersebut bukanlah para
petani penggarap atau orang yang memperjuangkan tanah dari
awal. Kebanyakan dari mereka bukanlah petani, bahkan banyak di
antaranya merupakan kerabat dari kepala desa. Tidak hanya itu,
sarana produksi, yang pada waktu interaksi awal antara SeTAM
dan JW telah dijanjikan, tidak jadi diberikan karena adanya kasus
jual beli tanah pasca redistribusi.
Pada awal pelaksanaan redistribusi, para petani, SeTAM,
masyarakat sipil, dan politisi proreforma agraria, termasuk
juga pemerintah, mengalami euforia. Para petani senang
karena pada akhirnya memperoleh tanah. Begitu juga dengan
SeTAM, masyarakat sipil, dan politisi reforma agraria turut
mengampanyekan keberhasilan pelaksanaan reforma agraria
di Cipari sebagai bagian dari kemenangan kecil masyarakat.
Begitu pun di kalangan pemerintah SBY yang memandang bahwa
kebijakan reforma agraria di Cipari adalah land reform terbesar
pertama di era Reformasi. Namun demikian, seiring dengan
merebaknya jual beli lahan ditambah dengan tidak jadinya
Pertarungan Kepentingan dan Perebutan Kuasa Agraria 53