Page 72 - Kebijakan Reforma Agraria di Era SBY
P. 72
Pada 1923, Belanda memasuki wilayah tersebut dengan
memberi mandat kepada perusahaan milik Belanda untuk
mendirikan perkebunan (Setiaji, 2012). Keberadaan perkebunan
itu membuat masyarakat terusir dari wilayahnya. Namun setelah
Belanda kalah oleh Jepang dan Jepang menguasai Indonesia,
tanah tersebut kembali dikuasai oleh masyarakat. Masyarakat
kembali mengerjakan tanah tersebut. Namun demikian, setelah
Jepang pergi dari Indonesia dan kemudian Indonesia merdeka,
dinamika perebutan tanah kembali terjadi.
Di masa orde lama, kembali terjadi perebutan tanah. Pada
periode ini, perebutan tanah terjadi antara petani penggarap
yang mendapat dukungan dari Barisan Tani Indonesia (BTI)
dan tentara yang mendapat dukungan dari pemerintah dengan
diatasnamakan nasionalisasi. Pada masa ini, pemenang dari
pertarungan tersebut adalah tentara. Tentara mendapatkan
legalitas lahan perkebunan dalam bentuk HGU yang diberikan
kepada PT Rumpun yang merupakan cikal bakal PT Rumpun Sari
Antan (RSA).
Meskipun pada waktu itu pemerintahan Soekarno juga
mendukung keberadaan land reform, akan tetapi di masa itu
land reform lebih banyak diarahkan pada tanah-tanah milik
pribadi (tuan tanah) yang merupakan wilayah pertanian
(bukan perkebunan). Di era tersebut, pada wilayah perkebunan,
pemerintah Orde Lama lebih memilih melakukan nasionalisasi
daripada melaksanakan land reform, sehingga wilayah
perkebunan tidak tersentuh oleh kebijakan land reform.
Pertarungan Kepentingan dan Perebutan Kuasa Agraria 55