Page 77 - Kebijakan Reforma Agraria di Era SBY
P. 77
penggarap) dan WHY (kepala desa) yang menyebutkan bahwa
pada beberapa titik terdapat tanah yang dikuasai oleh masyarakat
dan tidak diganggu oleh pihak perkebunan.
Dari berbagai pernyataan di atas, tampak bahwa memang
secara faktual masyarakatlah yang menguasai lahan tersebut.
Model semacam ini sebetulnya jamak terjadi di wilayah konflik
agraria di mana masyarakatnya punya “kekuatan”. Secara de facto,
masyarakatlah yang menguasai lahan, meskipun secara hukum
normatif kekuasaan atas lahan tersebut ada pada swasta atau
pemerintah.
Dalam hal inilah, memang perlu ada perbaikan tafsir atas
makna penguasaan sumber agraria. Sesungguhnya banyak kasus
dalam konflik agraria yang memang secara faktual sumber daya
agraria tersebut telah dikuasai secara penuh oleh masyarakat
dan negara tidak dapat melakukan intervensi. Salah satu bentuk
keberhasilan masyarakat untuk memenangkan kasus ini adalah
pihak PT RSA tidak mempunyai bukti yang cukup kuat tentang
“sejarah penguasaan” lahan. Disinilah, tampak bahwa kekuasaan
atas sumber agraria sesungguhnya tidak bersifat absolut hanya
pada satu aktor saja.
Namun demikian, di tengah kuasa aktor masyarakat
atas aktor lain, pada kondisi tertentu aktor masyarakat pun
mempunyai kekuasaan yang terbatas. Demikian halnya dengan
keterbatasan kekuasaan pada level pemerintah, seperti yang
terjadi pada BS yang menganggap bahwa kekuasaannya sebagai
anggota legislatif terbatas oleh kekuasaan eksekutif, dalam hal ini
SBY, karena pada waktu itu partainya bukan merupakan partai
penguasa. Kondisi ini semakin diperjelas dengan realitas bahwa
dalam hal “siapa melakukan aktivitas produksi apa terhadap
60 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono