Page 82 - Kebijakan Reforma Agraria di Era SBY
P. 82
Sidasari) menyampaikan ceritanya:
“Pada saat itu khan ada surat pelepasan dari Yadip, itu Yayasan
Diponegoro Semarang, Jalan Pramuka kalau ndak salah. Nah sesudah
itu, kita rapat-rapat dengan pertanahan pusat, dan ternyata deal. Terus
ada suatu kompensasi, muncul kompensasi yang per bidang itu khan 35
ubin. Kompensasinya 750 ribu kalau ndak salah per kaveling. Sesudah
itu, disepakati akan dilaksanakan selama 6 bulan secara nyicil (baca:
mengangsur).” (Wawancara, 21/11/2018).
Kedua, hubungan saling bertentangan antar sesama kelompok.
Hubungan ini salah satunya terjadi di kalangan petani. Contohnya
adalah pandangan soal kompensasi di antara pengurus SeTAM.
Ada pengurus SeTAM yang berpandangan bahwa kompensasi
sebaiknya diterima karena khawatir masyarakat akan jenuh
dengan perjuangan yang sudah berlangsung lama. Adapun
pengurus lainnya mempunyai pandangan bahwa keberadaan
kompensasi dapat menjadi jalan pembuka kegagalan reforma
agraria di Cipari.
“Saya juga berbeda pendapat dengan Mbah SG ketika menyikapi adanya
kompensasi. Saya menilai dalam kondisi sekarang, agar masyarakat tidak
jenuh, mau tidak mau kompensasi kita terima. Daripada semakin lama,”
ujar SRW. (Wawancara dengan SRW, 23/12/2018).
Ketiga, hubungan saling memahami kondisi tiap-tiap aktor.
Hal ini terjadi pada hubungan antara pemerintah desa danSeTAM.
Dalam beberapa konteks, sering kali keduanya juga memahami
kondisi keterbatasan masing-masing. Hal ini yang kemudian
memunculkan pemikiran terhadap kondisi yang dihadapi antar
aktor. Meskipun sesungguhnya, keduanya mempunyai pemikiran
dan sikap yang berbeda. Contoh dari hubungan semacam ini,
seperti yang diungkapkan oleh SRT (Kades Karangreja) berikut
ini:
Pertarungan Kepentingan dan Perebutan Kuasa Agraria 65