Page 79 - Kebijakan Reforma Agraria di Era SBY
P. 79
di atas bahwa dalam tiap-tiap kategori juga tidak bersifat tunggal,
tetapi kondisi saling melemahkan juga terjadi. Lebih lanjut, ia
menjelaskan bahwa di dalam SeTAM terdapat perbedaan dalam
menyikapi “kompensasi”. Hal ini berakibat “pecahnya” SeTAM
menjadi dua bagian, yakni yang sepakat untuk diteruskan dengan
membayar kompensasi dan pihak lain yang menolak keberadaan
kompensasi.
Pada level lain, misalnya di pemerintahan desa. Para aktor yang
terlibat di dalamnya melihat bahwa dibukanya kemungkinan tanah
tersebut kembali ke masyarakat menjadikan mereka mengejar agar
tanah tersebut segera kembali, meskipun dengan risiko adanya
kompensasi. Seiring dengan itu, masyarakat menilai jika instrumen
yang digunakan oleh para kepala desa tersebut sebagai upaya
melemahkan posisi masyarakat. Bahkan dapat dikatakan, reforma
agraria yang dituntut oleh masyarakat di awal-awal perjuangan
untuk menyejahterakan mereka tiba-tiba saja diambil alih (baca:
dibajak) oleh pemerintahan desa yang melakukan persetujuan
dengan PT RSA tanpa melibatkan pandangan dari masyarakat.
Pada level atas, kondisi ini juga terjadi. Menurut GWR (pakar
agraria), JW yang pada awal-awal sangat kuat dalam upayanya
mewujudkan reforma agraria terpaksa harus kandas karena
tidak mampu menembus “tembok kekuasaan” lain, termasuk di
dalamnya presiden. Kontestasi pada level ini juga termasuk hal
memaknai reforma agraria. Bila pada level masyarakat makna
reforma agraria adalah upaya untuk membuat kehidupan yang
lebih baik, maka pada level negara digunakan untuk pencitraan
populis, serta pada level swasta, reforma agraria yang dijalankan
hanyalah sekadar menggugurkan tugas alih-alih memanfaatkan
aktor lain untuk memastikan bahwa swasta tidak rugi banyak.
62 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono