Page 80 - Kebijakan Reforma Agraria di Era SBY
P. 80
Di titik inilah, telah terjadinya pendangkalan makna reforma
agraria sebagai akibat dari kepentingan para aktor. Selain itu,
ada pihak lain yang juga mengambil kesempatan dari proses
ini, yakni masyarakat/pengusaha yang mempunyai kapital yang
kemudian melakukan pembelian tanah dengan dalih membantu
kompensasi. Hal ini dikatakan oleh SJT (pegiat agraria Cipari)
sebagaimana berikut:
“Memang saya mendengar kaya gitu siapa yang ibaratnya calo-calo tanah
itu muncul, makelar-makelar tanah ibarat kaya orang yang kaya mendadak
gitu. Tuan-tuan tanah baru.” (Wawancara, 21/11/2018).
Pernyataan tersebut dibenarkan ED (petani penggarap). Ia
mengatakan bahwa para blantik (baca: makelar) itu membeli
lahan dengan harga murah dan kemudian dijual bisa sampai tiga
kali lipat dari harga awal. Baginya, para blantik ini adalah para
pengkhianat reforma agraria karena mereka tidak turut berjuang,
tetapi justru mendapatkan keuntungan yang terbesar.
Hal seperti di atas juga dikatakan SD (pembeli lahan):
“Lah kula paling kaya niki, anggotane kula nggih terus terang wonten
sing nyerah mboten purun nebus kompensasi niku nggih. Nah kula kan
mirangaken Pak Babinsa nek mboten salah Pak WST, ‘Pokoke nek sing ora
nebus ya ora diweih, nek sing nebus ya kuwe sing duweni’. Lah anggotane
kula wonten sing mboten nebus ya kula tebus. Kompensasi niku aturan
saking mriko sak mestine, sedoyo kudu mbayar.”
(Saya paling seperti ini, ada anggota saya yang terus terang dia tidak mampu
membayar kompensasi. Saya mendengar dari Pak Babinsa, kalau ngga salah
namanya Pak WST, ‘Pokoknya yang tidak bisa menebus kompensasi tidak
akan diberikan (tanah), yang menebus yang dapat. Yang menebuslah (baca:
membayar kompensasi) yang dapat tanahnya. Lah, anggota saya ada yang
tidak bisa menebus, ya, (akhirnya) saya yang menebus. Kompensasi itu
aturan dari sana (baca: berdasarkan perjanjian kepala desa dengan PT RSA,
semua harus bayar. (Wawancara, 05/12/2018).
Pertarungan Kepentingan dan Perebutan Kuasa Agraria 63