Page 81 - Kebijakan Reforma Agraria di Era SBY
P. 81
Dari pernyataan SD di atas, tampak bahwa karena
ketidakmampuan calon penerima tanah untuk membayar
kompensasi, maka pembayaran kompensasi dilakukan oleh
pembeli tanah. HJ yang berperan sebagai perantara antara
penjual dan pembeli lahan membuka tabir proses kompensasi ini
hanyalah akal-akalan pemerintah desa untuk melakukan korupsi.
“Lurahe pada ya secara serakahlah. (Tanahnya seolah, pen.) Diberikan ke
masyarakat, atas namanya (sertifikat, pen.) juga masyarakat ... tapi, ya
itulah dikorupsi akhirnya ya ada sebagian, ndak semua, namanya (atas
nama) rakyat tapi dikuasai oleh lurah. Lurah dipinjami duit, sama orang
yang punya duit. Akhirnya gitu jadi jual beli. Jadi, masyarakat seolah-olah
buat atas nama doang.” (Wawancara, 05/12/2018).
Selain soal pemahaman terhadap implementasi reforma
agraria, dalam hubungan antar aktor di Cipari juga terdapat
hubungan kelembagaan antar aktor dalam implementasi reforma
agraria. Berdasarkan temuan di lapangan, model hubungan
kelembagaan antar aktor tersebut, antara lain pertama,
hubungan yang sifatnya saling memberikan dukungan. Hubungan
ini terjadi pada kedua belah pihak, baik yang pro maupun yang
kontra terhadap keberadaan reforma agraria. Bagi aktor yang
proreforma agraria, maka dukungan tersebut dilakukan untuk
memperlancar implementasi reforma agraria. Hubungan
semacam ini terjadi antara petani, penggarap, SeTAM, kalangan
LSM, dan politisi yang proreforma agraria. Begitu juga sebaliknya,
para aktor yang kontra terhadap reforma agraria juga akan saling
memberikan dukungan untuk menghambat pelaksanaan reforma
agraria atau membuatnya tidak terlalu merugikan bagi objek
reforma agraria. Hal semacam ini terjadi pada PT RSA dengan
pemerintahan desa. Kedua belah pihak inilah yang bersepakat
dengan adanya kompensasi. Terkait hal tersebut, STR (Kades
64 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono