Page 83 - Kebijakan Reforma Agraria di Era SBY
P. 83
“Waktu itu habis 1999, nah beliau Pak SG itu masuk, memohon untuk
tanah diberikan. Kami juga atas nama kepala desa juga sama, mohon. Ya
udah lha ternyata dari pihak direksi RSA itu, memberikan kepada kami
kepada masyarakat. Sama juga sebetulnya sama Pak SG pun muaranya
pada masyarakat juga, begitu.” (Wawancara, 25/12/2018).
Keempat, hubungan yang selama ini diasumsikan terjadi
dominasi tetapi pada kenyataan di lapangan dominasi tersebut
tidak terjadi, bahkan justru saling mendukung. Misalnya,
hubungan antara negara dan masyarakat dalam perbincangan
terkait kompensasi. Hubungan semacam ini terjadi seperti
penuturan dari SLT (Kades Caruy) mengenai sikap Heri Tabri
(mantan Bupati) soal kompensasi.
“Kalau versi Pak Heri Tabri itu tidak mau bayar kompensasi, alasannya
karena tanah eks HGU adalah tanah negara yang sudah tidak diperpanjang
hak guna usahanya, otomatis kembali ke tanah negara. Negara punya
rakyat, tanah mau diminta oleh rakyat, katakan oleh Pemda gitu kan, masa
harus bayar kaya gitu.” (Wawancara, 25/12/2018).
Namun demikian, pada level implementasi, gagasan yang
dimunculkan oleh Heri Tabri pada akhirnya tidak menjadi
kenyataan. Kenyataannya adalah PT RSA tetap meminta
kompensasi dan dari negosiasi yang diperoleh akhirnya para
petani penggarap diharuskan membayar kompensasi tersebut.
Kelima, terdapat hubungan tumpang tindih pada satu aktor.
Hubungan tersebut seperti yang terjadi pada SUT, seorang
petani penggarap yang ikut SeTAM tetapi juga menjadi bagian
dari partai yang pada waktu berkuasa di Cilacap. Ia menjelaskan
sebagaimana berikut:
“Saya dulu kan juga jadi pengurus PAC PDIP. Nah, saya juga sempat
dipanggil sama ketua dewan yang juga ketua DPC, karena saya sering-
sering demo itu ada yang melapor ke saya ke Pak FL. Dia menyuruh saya
66 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono