Page 78 - Kebijakan Reforma Agraria di Era SBY
P. 78
sumber agraria tersebut (who does what?)”, peran swasta dalam
wilayah yang telah dikuasai masyarakat tidak dapat melakukan
aktivitas produksi dalam bentuk apapun. Hal ini dibenarkan
oleh WHY (Kades Mekarsari) dan SG (SeTAM) yang mengatakan
bahwa di tempat yang dikuasai oleh masyarakat, RSA tidak dapat
melakukan aktivitas produksi apapun.
Agak berbeda dalam hal kekuasaan sumber agraria dan
aktivitas produksi, untuk soal “siapa memperoleh hasil apa dari
aktivitas produksi tersebut (who gets what?)” tampak bahwa
masyarakat belum sepenuhnya memegang kendali. Di Cipari,
kondisi ini dibenarkan oleh MSR (petani penggarap) dan SRW
(SeTAM) yang mengatakan bahwa hasil panen yang ada tidak
sepenuhnya untuk petani karena masih ada rasa takut saat
berhadapan dengan RSA.
Hal senada juga terjadi pada soal “digunakan untuk apa hasil
produksi tersebut (what do they do with it?)” yang ternyata masih
terkesan dengan khas birokrasi yang korup. Hasil produksi yang
ada tersebut hanya menjadi “milik” orang perkebunan dan sama
sekali dianggap tidak terkait dengan hasil produksi perusahaan.
Bahkan, di perkebunan RSA, karyawan perkebunan pun tidak
mendapatkan haknya.
Lantas, “apa saja yang dilakukan oleh pihak-pihak yang
terlibat dan/atau yang berkepentingan kepada sesama mereka
satu sama lain? (what do they do to each other?)”. Di sini, kontestasi
antar aktor terjadi untuk saling memperkuat atau melemahkan
tiap-tiap posisi. Hal tersebut seperti pernyataan SG (SeTAM) yang
menuturkan bahwa perjuangan reforma agraria tidak akan berhasil
jika tidak ada dukungan dari teman-teman (aktivis, LSM, politisi
yang berpihak). Namun demikian, seperti yang telah disebutkan
Pertarungan Kepentingan dan Perebutan Kuasa Agraria 61