Page 68 - Kebijakan Reforma Agraria di Era SBY
P. 68
petani tidak bisa memiliki lahan tersebut. Hal itu karena banyak
di antara petani yang tidak dapat membayar kompensasi. Namun,
ada sebagian petani lainnya (termasuk didalamnya beberapa
pengurus SeTAM) yang menerima kompensasi dengan alasan agar
kasus ini dapat segera terselesaikan. Meski pada akhirnya setelah
dilakukan rapat internal, SeTAM menolak kompensasi dan secara
organisasi tidak lagi melibatkan diri dalam pembagian lahan.
Meskipun demikian, SeTAM memberi kebebasan kepada petani
dan pengurus jika secara pribadi terlibat dalam pembagian lahan
tersebut. Menurut pengamatan peneliti, pilihan politik SeTAM
yang berada pada wilayah abu-abu tersebut dikarenakan para
petani sebagian besar banyak yang lelah dalam memperjuangkan
tanahnya. Selain itu juga, adanya anggapan bahwa setidaknya
terdapat sejarah perjuangan tanah yang berhasil dilaksanakan
di Cilacap atau dalam istilah mereka sering disebut sebagai
“kemenangan kecil”.
Meskipun tidak terlibat langsung dalam pembagian lahan di
Cipari, SeTAM tetap menyuarakan perjuangan para petani dengan
mengupayakan advokasi reforma agraria dengan mengambil
peluang politik kebijakan reforma agraria model yang ditawarkan
JW (Kepala BPN) yakni asset dan access reform. Kerja advokasi
reforma agraria model tersebut dapat terjadi karena hubungan
SeTAM dengan kalangan masyarakat sipil (LBH, LSM, akademisi)
yang juga turut memperjuangkan reforma agraria. Selain itu,
interaksi yang cukup erat antara SeTAM dengan JW (Kepala BPN),
semakin memperkuat kampanye tersebut.
Interaksi antara masyarakat sipil dan politisi sesungguhnya
sudah pernah terjadi di masa lalu. Hubungan politisi yang ada di
partai dan gerakan sosial terjadi pada masa orde lama, misalnya
Pertarungan Kepentingan dan Perebutan Kuasa Agraria 51