Page 64 - Kebijakan Reforma Agraria di Era SBY
P. 64
Penguasa Perang Daerah (Peperda) tingkat I Jawa Tengah dan
DIY pada 9 Januari 1968 menyerahkan penguasaan pengelolaan
tanah-tanah perkebunan di Jawa Tengah kepada PT Rumpun.
Pada masa awal dan pertengahan Orde Baru, kata land
reform sama sekali tidak terdengar di Cipari. Namun demikian,
upaya masyarakat untuk memperoleh tanah tetap dilakukan
tetapi tidak menggunakan istilah land reform. Wacana land
reform mulai muncul kembali saat BS (aktivis mahasiswa yang
kemudian menjadi politisi DPR) memasuki wilayah Caruy dan
berupaya memperjuangkan hak atas tanah warga. Hanya saja,
upaya tersebut terhenti karena BS kemudian ditangkap dan tidak
diperbolehkan masuk ke desa tersebut.
Pembicaraan land reform mulai kembali muncul saat era
Reformasi. Pada 1998, karena krisis ekonomi, masyarakat kembali
mengupayakan agar tanah tersebut kembali kepada mereka.
Upaya tersebut mendapat dukungan dari kalangan masyarakat
sipil, khususnya LBH Yogyakarta yang merupakan inisiator awal
berdirinya organisasi para petani Cipari yang tergabung dalam
Serikat Tani Merdeka (SeTAM). Pada masa inilah, kata land reform
kembali berkumandang di kalangan petani. Mereka bersama-sama
dengan kalangan LSM berupaya memperjuangkan kembalinya
hak atas tanah dengan menyandarkan diri pada Pasal 33 UUD
1945 serta UUPA 1960. Kata reclaiming atau klaim kembali atas
lahan merupakan kata yang sering diucapkan oleh para petani,
khususnya yang sudah bergabung dalam SeTAM. SeTAM dalam
kancah politik kebijakan agraria menjadi salah satu penyokong
lahirnya kebijakan-kebijakan agraria di era Reformasi. Mereka
terlibat dalam Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) maupun
dengan jejaring mereka di Federasi Serikat Petani Indonesia
Pertarungan Kepentingan dan Perebutan Kuasa Agraria 47