Page 63 - Kebijakan Reforma Agraria di Era SBY
P. 63
tentara yang dijalankan oleh PT Rumpun akhirnya mendapatkan
HGU pada 1975. Kondisi ini bisa terjadi, menurut NF (peneliti
agraria) dikarenakan:
“Kemenangan tentara pada waktu itu tidak terlepas dari kebijakan
secara nasional tentang land reform memang belum menyentuh wilayah
perkebunan maupun kehutanan. Di zaman Orde Lama, land reform
dijalankan di tanah-tanah milik pribadi dan belum masuk pada tanah-tanah
negara. Fokus land reform pada waktu itu adalah membagi tanah-tanah
pertanian yang dimiliki oleh tuan tanah kepada para petani penggarap.”
(Wawancara, 02/9/2019).
Pendapat yang diungkapkan oleh NF, sejalan dengan pendapat
Tuong Vu dalam Paths to Development in Asia: South Korea, China,
Indonesia, and Vietnam (2010). Ia berpendapat:
“Kebijakan nasionalisme-populis Soekarno yang direfleksikan secara
gamblang dalam reforma agraria dan nasionalisasi perusahaan Belanda
membuat struktur negara yang masih baru berdiri tersebut menjadi tidak
terkendali. Bukan karena seharusnya Soekarno tidak melakukan kebijakan
tersebut, tetapi yang terjadi adalah pemerintahan revolusi hanya
membuat elite pemerintahan mengakomodasi, alih-alih benar-benar
mengonfrontasi massa lain di luar petani maupun elite lain selain PKI
yang menjadi fokus saat itu. Permisifnya pemerintahan di bawah jargon
nasionalisme-populis tersebut dapat dilihat hari ini dengan kekuasaan
militer atas perkebunan yang terus melanggengkan sistem kolonial.
Peristiwa 1965 menjadi arah balik bagi perjuangan land
reform. Di Cipari, pada masa tersebut juga merupakan masa yang
kelam bagi masyarakat. Sebagian besar dari mereka terkena
dampak pemberangusan G30S. Perjuangan land reform dengan
jargon tanah untuk penggarap berhenti di akhir 1965. Pada masa
itu, petani tidak lagi dianggap menjadi bagian dari pendorong
dirumuskannya sebuah kebijakan. Alih-alih justru pada 1968,
pemerintah Orde Baru melalui Pangdam Diponegoro selaku
46 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono