Page 66 - Kebijakan Reforma Agraria di Era SBY
P. 66
Di waktu berikutnya, tepatnya pada 31 Desember 1999,
merupakan masa akhir HGU PT Rumpun Sari Antan (RSA). SeTAM
memanfaatkan peluang ini dengan terus mendorong agar HGU
tersebut tidak diperpanjang. Upaya ini kemudian membuahkan
hasil dengan tidak diperpanjangnya HGU pada wilayah yang
sedang dipermasalahkan oleh masyarakat. Bahkan, pemerintah
melalui BPN mengeluarkan kebijakan untuk menjadikan sebagian
kecil tanah perkebunan itu menjadi objek land reform.
Namun demikian, di tengah upaya tersebut, PT RSA tetap
berupaya menghambat pelaksanaan redistribusi tanah. Mereka
menghendaki kompensasi atau ganti rugi atas tanah yang akan
diredistribusi. Kompensasi inilah yang menjadikan terjadinya
perpecahan baik di kalangan petani, pengurus SeTAM, maupun
antara SeTAM dan para kepala desa.
Seperti pada pemerintah desa pada umumnya, upaya
masyarakat untuk memperjuangkan hak atas tanah awalnya
bukanlah isu yang didukung oleh pemerintah desa. Pada banyak
kasus, kebanyakan dari pemerintah desa bahkan berupaya
menghindar. Hal itu juga terjadi pada pemerintah desa di lima desa
yang menjadi sasaran penelitian ini. Mereka tidak mau terlibat di
dalam upaya memperjuangkan hak atas tanah. Namun demikian,
situasi itu berubah ketika mereka melihat peluang tanah tersebut
bisa menjadi milik masyarakat dengan telah berakhirnya HGU
dan juga surat dari BPN tentang rencana pelepasan tanah.
Melihat peluang tersebut, pemerintah desa perlahan-lahan
melakukan pendekatan kepada para petani termasuk juga ke
SeTAM. Mereka mengatakan bahwa masalah tanah juga menjadi
masalah pemerintah desa. Semenjak saat itu, pemerintah desa
di kelima desa tersebut menjadi bagian dari upaya agar tanah
Pertarungan Kepentingan dan Perebutan Kuasa Agraria 49