Page 59 - C:\Users\Acer\Music\MODUL FLIPBOOK DIGITAL\
P. 59
1. Konservasi In-Situ: Menjaga Satwa di Habitat Aslinya
Pernahkah kalian membayangkan seekor komodo dipindahkan dari Pulau Komodo
lalu ditempatkan di kebun binatang kecil di kota? Atau seekor gajah Sumatra yang biasanya
hidup di hutan lebat, dipaksa tinggal di kandang sempit? Tentu terasa berbeda, bukan? Nah,
di sinilah letak pentingnya konservasi in-situ, yaitu menjaga keanekaragaman hayati
langsung di habitat aslinya. Artinya, hewan dan tumbuhan tetap berada di lingkungan alami
mereka, dengan ekosistem yang masih utuh. Cara ini dianggap lebih ideal karena makhluk
hidup tetap dapat melakukan aktivitas alaminya, seperti berburu, mencari makan,
berkembang biak, hingga bermigrasi sesuai siklus hidupnya.
Di Indonesia, konsep ini diwujudkan melalui berbagai kawasan konservasi. Contoh
paling terkenal adalah Taman Nasional Ujung Kulon, yang menjadi habitat terakhir badak
jawa—salah satu hewan paling langka di dunia, dengan jumlah populasi yang kini hanya
sekitar 80 ekor. Ada juga Taman Nasional Komodo di Nusa Tenggara Timur, rumah asli bagi
komodo, reptil purba yang hanya ada di Indonesia dan kini menjadi salah satu ikon wisata
dunia. Di Sumatra, terdapat Taman Nasional Way Kambas yang berperan penting dalam
menjaga kelestarian gajah sumatra, satwa besar yang sering terancam karena perburuan
gading dan konflik dengan manusia. Bayangkan, tanpa kawasan ini, mungkin satwa-satwa
unik tersebut sudah tinggal nama di buku sejarah.
Selain taman nasional, ada juga suaka margasatwa dan cagar alam. Suaka
margasatwa berfungsi melindungi satwa tertentu dalam kawasan khusus, misalnya Suaka
Margasatwa Baluran di Jawa Timur yang menjadi rumah bagi banteng jawa. Sedangkan
cagar alam, seperti Cagar Alam Gunung Leuser di Sumatra, memberikan perlindungan lebih
ketat karena tujuan utamanya adalah menjaga ekosistem agar tetap asli. Gunung Leuser ini
bahkan dikenal sebagai salah satu benteng terakhir bagi orangutan sumatra. Jika kalian
pernah melihat orangutan bergelantungan dari pohon ke pohon, itulah bukti bahwa mereka
hanya bisa hidup optimal bila habitat hutannya terjaga.
Namun, konservasi in-situ tidak selalu mudah. Tantangan terbesarnya datang dari
aktivitas manusia. Perambahan hutan untuk perkebunan, tambang, atau pemukiman sering
menggerus habitat satwa liar. Perburuan juga masih marak terjadi, baik untuk perdagangan
satwa ilegal maupun pemenuhan kebutuhan lokal. Tidak jarang, konflik antara manusia dan
satwa juga meningkat, misalnya gajah yang merusak kebun warga karena hutan tempatnya
mencari makan sudah habis ditebang. Situasi ini membuat konservasi in-situ butuh
pengawasan dan dukungan dari berbagai pihak, baik pemerintah, masyarakat, maupun
organisasi internasional.
51

