Page 27 - THAGA 2024
P. 27
berusaha menjadi pendengar yang baik. Mendengarkannya
dengan empati, bukan malah membercandai apalagi berakibat
mencederai. “Ah sembrononya aku,” rutukku dalam hati.
Lirikannya menyudut, seraya menatap kosong jendela
kendaraan. Paras ayunya berubah kelam berselimut duka, mata
jelinya berair parah. “Duh salah sudah,” batinku membuncah.
“Tisu, Rin,” tawarku, tetapi tak digubris, bagai angin lalu.
Wajahnya terlihat sendu, lalu tanpa permisi mendekat
dan membenamkannya di dadaku. Setelah itu, tangisnya pun
pecah. Sungguh , aku tidak kuasa dengan moodswingnya.
Tubuhku mematung dengan pikiran bingung. Baru
pertama kali bertemu langsung dekat begini. Mungkin karena
keberuntungan yang selalu menyertai hidup ini. Kemeja abu-
abuku mendadak menghangat, basah. Seolah dikomando,
tangan ini pun melingkar mendekap kepalanya. Aku tidak habis
pikir dengan ini semua, hingga berprasangka, “Pasti kerjaan
si Wahhar, nie. Biar sajalah dulu tumpah beban di dadanya,”
batinku.
Meski tidak menafikan rasa nikmat aku menganggap ini
sebagai salah satu wujud dari service excellent dalam pekerjaan.
“Tenang, Rin, semua akan berlalu.” Aku coba menenangkan
dengan mengutip sebuah frasa penyair sufi Persia yang diambil
dari Raja Birbal. Seorang penasihat dalam dewan Kaisar
Mughal Akbar.
Namun, gerung tangisnya terdengar semakin pilu. “Rina
tau, tapi Rina malu.”
“Tentang rasa malu Rin, apa kamu tau tentang puncak
derita manusia adalah saat sakit dan malu? Jika hanya sakit
dan malu, kita semua pasti bisa melewatinya.”
Cukup menarik melihat fenomena pergeseran zaman
tentang wanita dan rasa malu. Jika pada generasi Baby Boomer
THAGA 19
GALGARA