Page 377 - THAGA 2024
P. 377
Ada sedikit rasa tak enak hati mendengar ucapannya.
Bagaimanapun sekarang dia istriku. Kenyataannya ini tak
hanya melukaiku, tetapi juga dirinya. Aku bisa menangkap hal
tersebut dari sorot matanya.
Dia berdiri dan melewatiku menuju meja rias. Diambilnya
segelas jahe hangat yang sedari tadi asapnya tertutup penutup
gelas. “Ini Mas diminum dulu biar endak masuk angin, di sini
dingin, ya, gak kayak di Surabaya.” Aku pun mereguk jahe yang
terasa segar dan tipis di mulut, hangat, tak terlalu manis dan tak
terlalu pedas.
Kuakui sikap dan perhatiannya seakan menebarkan benih
cinta yang baru di hatiku.
“Kamu tau gak kenapa selama ini aku gak ingin menikah?
Karena aku paham siapa pun yang menyandingku itu pasti
akan egois mengekangku. Dia ingin memiliki seutuhnya. Dan
kenapa aku juga tak ingin punya anak? Karena aku tak ingin
anakku terkena mental jika tau siapa ayahnya. Dia akan dibuli
sebagai anak dari seorang pendosa. Selain itu aku belum tentu
bisa membahagiakan anakku. Belum tentu aku bisa mencarikan
anakku rejeki yang halal. Jika anakku sampai kekurangan dan
akhirnya berbuat dosa untuk mendapatkan keinginannya, maka
seolah aku sendiri yang menjerumuskan anakku. Apalagi jika
kita generasi sandwich, harus merawat orang tua kita yang
sudah tua demi bakti kita kepada orang tua, di sisi lain kita harus
berpikir untuk membahagiakan istri dan anak kita. Aku kira itu
harus memikirkan kebutuhan finansial yang benar-benar besar
dan halal. Kecuali kita mengajak anak kita hidup dengan alasan
zuhud dan minimalis. Aku sudah banyak salah, aku gak mau
lagi menambah salah. Semoga garisan takdirku diringankan,
sebab guratan takdir kalo sudah ada yang menghendaki itu gak
THAGA 369
GALGARA