Page 420 - THAGA 2024
P. 420
ranjang Al yang kini terbaring seorang diri. Tangannya yang
dibalut handscoon putih cekatan melakukan injeksi pada tangan
kanan Al yang sudah teraplikasi selang infus.
“Galang Anggara, 32 April 1991, Suster. Bagaimana hasil
lab tadi, Suster?” tanya Al yang saat itu raut wajahnya menahan
rasa ngilu kala cairan anti biotik disalurkan pada selang infus,
dilanjutkan cairan anti nyeri yang lebih pekat.
“Untuk hasilnya menunggu besok akan dijelaskan langsung
oleh dokternya ya, Pak,” jawab suster yang wajahnya mirip
seseorangyang Al kenali. “Maaf agak sakit, ya, Pak.”
“Iya, Sus.” Mata Al terpejam menahan rasa sakit yang
mendera. Wajahnya tak lagi menampakkan cahaya, berganti
kusam, lesu dan tak lagi ada semangat.
“Sudah, Pak. Jika nanti butuh bantuan bisa tekan bel, nanti
saya segera datang.”
“Terimakasih, Suster,” ucap Al yang tubuhnya masih
menahan ngilu pada pembuluh darah tangannya. Tangan
kirinya segera menyahut gawai.
“Al, kamu ini kenapa, sih, kok, gak mau terbuka gini ke aku?
Aku, kan, juga pengen bantuin kamu.” Sebaris pesan dari Inka
kembali masuk pada gawai Al.
Diletakkannya gawai itu di sampingnya. Sejenak dia
memejamkan mata. “Apa aku akan terus-menerus menghindar
begini?” pikirnya. Napasnya diembuskan kasar. “Lebih baik aku
tetap menyembunyikannya dan mengalihkan perhatiannya ,”
pikirnya lagi.
Udara dingin menghembus dari AC central kamar rawat
inap ruang Tulip V2 RSUD Sidoarjo. Al masih terbujur menjadi
kembang bayang. Hari-harinya diisi mengonsumsi obat dan
infus.
412 THAGA
GALGARA