Page 451 - THAGA 2024
P. 451
“Iya, Nab. Nanti cobain ronde atau angslenya saja. Eh, apa
kamu mau jagung bakar? Aku pesenin, ya.” Aku berdiri untuk
kembali memesan ke penjual makanan.
“Boleh, Mas Gal. Aku liat itu di depanj agungnya habis
dibakar diserut dipiring, ya? Kayaknya ada olesan rasa-rasa
juga, Mas Gal. Kalo ada yang pedes boleh, deh.”
“Yaudah aku pesenin. Seporsi dulu, ya?” Dijawabnya
dengan anggukan.
Sembari menunggu pesanan datang, kami memandangi
aktivitas para pelancong yang juga mampir ngadem dan
melepaskan penat di pujasera sini. Asap bakaran sate dan
jagung bakar mengepul bercampur kabut membuat suasana
menjadi sendu. Hawa dingin dari tadi membuat tubuh harus
sedikit-sedikit terus bergerak agar tak tergigil.
Semangkok wedang angsle yang berkuah putih dari santan
dengan isian roti mengawali kedatangan kuliner pesanan kami.
Berikutnya semangkok wedang ronde dari kuah jahe dan isian
petulo berisi kacang meyusul. Dua puluh tusuk sate kelinci
dengan saus kacang melanjutkan parade kuliner di meja kami.
Terakhir sepiring kecil jagung bakar serut dengan saus mayones
pedas menjadi pamungkas.
“Coba kamu icip satu-satu. Sekiranya mana yang cocok di
lidahmu, Nab,” suruhku.
“Iya, Mas Gal.” Tampak Nabila mencicipi kuah angsle dan
ronde bergantian. Hasilnya yang dipilih sesuai tebakanku.
“Saya wedang angsle saja, Mas Gal. Wedang ronde
kuahnya terlalu strong. Mas Gal, mau nyobain jagung serutnya?”
tawarnya menyodorkan piring berisi serutan jagung.
“Udah aku sate saja, Nab. Selamat makan ya.” Aku
menyuapinya sesendok jagung.
THAGA 443
GALGARA