Page 131 - Kelas_12_SMA_Sejarah_Indonesia_Semester_1_Siswa_2016
P. 131

Melalui penataran P4 itu, pemerintah juga memberikan penekanan pada
                 masalah “suku”, “agama”, “ras”, dan “antargolongan”     (SARA). Menurut
                 pemerintah Orde Baru, “sara” merupakan masalah yang sensitif di Indonesia
                 yang sering menjadi penyebab timbulnya konlik atau kerusuhan sosial. Oleh
                 karena itu, masyarakat tidak boleh mempermasalahkan hal-hal yang berkaitan
                 dengan SARA. Secara     tidak langsung masyarakat  dipaksa  untuk berpikir
                 seragam;  dengan kata  lain yang lebih halus, harus  mau bersikap toleran
                 dalam  arti  tidak boleh membicarakan atau menonjolkan perbedaan yang
                 berkaita  denga  masala  sara  Meski  demikia  akhirnya  konli  ya
                 bermuatan SARA itu tetap tidak dapat dihindari. Pada tahun 1992 misalnya,
                 terjadi konlik antara kaum muslim dan nonmuslim di Jakarta (Ricklefs, 2005:
                 640). Demikian pula   halnya  dengan P4. Setelah beberapa  tahun berjalan,
                 kritik datang dari  berbagai  kalangan terhadap pelaksanaan P4. Berdasarkan
                 pengamatan di  lapangan banyak peserta   penataran pada  umumnya   merasa
                 muak terhadap P4. Fakta   ini  kemudian disampaikan kepada   presiden agar
                 masalah P4 ditinjau kembali.

                     Setelah P4 menjadi  Tap MPR dan dilaksanakan, selanjutnya     orsospol
                 yang diseragamkan dalam     arti  harus  mau menerima   Pancasila  sebagai
                 satu-satunya  asas  partai  dan organisasi, yang dikenal  dengan sebutan “asas
                 tunggal”. Gagasan asas tunggal ini disampaikan oleh Presiden Soeharto dalam
                 pidato pembukaan Rapat Pimpinan ABRI (Rapim ABRI), di Pekanbaru, Riau,
                 tanggal 27 Maret 1980 dan dilontarkan kembali pada acara ulang tahun Korps
                 Pasukan Sandi Yudha (Kopasandha) di Cijantung, Jakarta 16 April 1980.

                     Gagasan asas tunggal ini pada awalnya menimbulkan reaksi yang cukup
                 keras dari berbagai pemimpin umat Islam dan beberapa purnawirawan militer
                 ternama. Meskipun mendapat     kritikan dari  berbagai  kalangan, Presiden
                 Soeharto tetap meneruskan gagasannya     itu dan membawanya      ke  MPR.
                 Melalui  Sidang MPR ‘Asas   Tunggal”  akhirnya  diterima  menjadi  ketetapan
                 MPR, yaitu; Tap MPR No.II/1983. Kemudian pada 19 Januri 1985, pemerintah
                 dengan persetujuan DPR, mengeluarkan Undang-Undang No.3/1985 yang
                 menetapkan bahwa partai-partai politik dan Golkar harus menerima Pancasila
                 sebagai  asas  tunggal  mereka. Empat  bulan kemudian, pada    tanggal  17
                 Juni  1985, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No.8/1985 tentang
                 ormas, yang menetapkan bahwa    seluruh organisasi  sosial  atau massa  harus
                 mencantumkan Pancasila   sebagai  asas  tunggal  mereka. Sejak saat  itu tidak
                 ada lagi orsospol yang berasaskan lain selain Pancasila, semua sudah seragam.
                 Demokrasi  Pancasila  yang mengakui   hak hidup “Bhinneka   Tunggal  Ika”,
                 dipergunakan oleh pemerintah Orde    Baru untuk mematikan kebhinekaan,
                 termasuk memenjarakan atau mencekal      tokoh-tokoh pengkritik kebijakan
                 pemerintah Orde Baru.



                                                                        Sejarah Indonesia
                                                                                            123
   126   127   128   129   130   131   132   133   134   135   136