Page 76 - EBOOK_Peribahasa Jawa Sebagai Cerminan Watak Sifat dan Perilaku Manusia Jawa
P. 76
Suseno. Dari uraian kedua sarjana tersebut dapat d1simpulkan bahwa
untuk merebut kekuasaan, orang harus melalui pemusatan tenaga kosmis,
yaitu bertapa (1984: 103). Dari pendapat de Jong dapat disimpulkan
bahwa seorang raja tidak selalu berarti pemegang kekuasaan duniawi,
melainkan juga raja bagi dirinya sendiri. Ia dapat menguasai nafsu-nafsu
yang ingin mengalahkan dirinya. Tapa merupakan jalan melaksanakan
tugas ilahi untuk mencapai kesempurnaan hidup (1976: 22--24). Menge-
nai tapa, Hardjowirogo mengungkapkan bahwa tapa dapat digunakan
sebagai sarana mencapai tujuan tertentu. Dengan bertapa, orang berharap
Sang Pencipta akan menyatu dengannya sehingga mengetahui dan ke-
mudian mengabulkan apa yang dikehendaki oleh si pertapa (1983: 91).
4.3 Orientasi Budaya Manusia Jawa
Menerapkan teori Kluckhon yang secara universal membagi nilai-
nilai budaya dari semua bangsa di dunia ke dalam lima kategori ber-
dasarkan lima masalah terpenting dalam kehidupan manusia, Koetjara-
ningrat membicarakan orientasi budaya orang Jawa dengan lima prinsif
dasar, yaitu hakikat hidup, hakikat karya, hakikat etos kerja, hakikat
hubungan dengan alam persepsi tentang waktu, dan hakikat hubungan
manusia dengan sesamanya.
Mengenai hakikat hidup, orang Jawa, baik petani maupun priyayi,
banyak dipengaruhi oleh kesusastraan, seperti Wedhatama, Wulang Reh,
Jakalodhang, Kalatidha, dan filsafat dari wayang. Konsep nasib, pas rah,
dan sumarah merupakan keyakinan mereka, meskipun manusia juga
harus berikhtiar.
Mengenai hakikat karya dan etos kerja, pada umumnya orang Jawa
tidak menyadari tujuan dan arti kerja keras mereka, kecuali sesuap nasi.
Hal itu sejalan dengan pendapat Hardjowirogo yang sudah diuraikan di
depan. Jauh sebelumnya, Koetjaraningrat telah berpendapat bahwa orang
Jawa percaya 'siapa yang menanam, bakal menuai'. Bagi yang agak ter-
pelajar, daya upaya manusia juga dihubungkan dengan pahala di akhirat
belak.
Dalam hubungannya dengan alam, orang Jawa merasa berkewajiban,
seperti yang dikemukakan de Jong, yaitu memayu ayuning bawana
( 1976: 13--15). Ungkapan tersebut di satu pihak ditafsirkan secara har-
68