Page 116 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 116

BERBAGAI PANDANGAN FUNDAMENTAL MENGENAI ISLAM HINDIA  —  95


               inventaris Banten yang dibuat seabad kemudian. Sementara jelas ada buku-
               buku mengenai yurisprudensi dasar yang beredar pada awal abad kedelapan
               belas, bersama teks-teks eskatologis seperti Kanz al-khaf  (Harta Tersembunyi)
               karya al-Raniri dan Kashf al-sirr (Penyingkapan Rahasia) yang dihubungkan
               pada Hamzah al-Fansuri, kita tidak menemukan bukti keberadaan jenis-jenis
               komentar yang secara langsung berciri Ghazalian yang dihasilkan al-Falimbani
               setengah abad kemudian. Begitu pula tak ada tanda yang jelas mengenai syair-
               syair pujian al-Jazuli atau risalah-risalah al-Sya’rani, yang dipopulerkan oleh
               para pembaharu yang didiskusikan pada Bab 2. 81
                    Werndly  sendiri  mengungkapkan  keyakinan  bahwa  “banyak  dan
               beragam” buku dapat ditemukan di kalangan orang-orang Melayu. Beberapa
               bahkan  ditemukan  secara  hampir  bersamaan  karena  sebuah  lampiran
               mendaftar  delapan  buku  sekaligus,  termasuk  terjemahan  tradisi-tradisi
               kanonis mengenai berbagai ucapan dan tindakan Nabi serta sebuah salinan
               soal-jawab  al-Samarqandi.  Namun,  meski  Werndly  telah  menggunakan
               Mir’at  karya  Syams  al-Din  untuk  pengantarnya,  dia  menganggap  nilainya
               adalah sebagai sebuah sumber mengenai “istilah-istilah teknis kaum pendeta
               Mohammedan”.  82
                    Memang  tampaknya  Belanda  pada  akhirnya  menjadi  lebih  mengenal
               kaum pendeta ini, jika draf kamus Leijdecker yang banyak diterbitkan itu
               dianggap sebuah petunjuk. Disalin pada sekitar 1750, kamus tersebut menjadi
               saksi berkembangnya kesadaran Belanda mengenai istilah-istilah Islami, yang
               barangkali mulai digunakan secara lebih umum di kawasan ini. Istilah-istilah
               tersebut meliputi bid’at untuk bidah, chalwa untuk pengasingan diri, dan
               santrij untuk santri, meskipun ini sudah diketahui sejak akhir abad ketujuh
               belas (pada 1684, misalnya, Syekh Yusuf dibuang ke pengasingan bersama
               dua belas “santrij” yang digambarkan sebagai “para paus kuil”). Namun, yang
               lebih aneh adalah penyebutan ahl al-tahqiq yang penuh teka-teki (meski sang
               juru tulis menuliskan tahf q) serta dua istilah yang terbolak-balik secara ganjil,
               tariyaka dan tirricat, dijelaskan sebagai “kepasrahan” dan “ketundukan”, yang
               menunjuk pada sebuah gagasan tentatif mengenai tarekat sebagai organisasi
               quietis. 83
                    Jika gagasan mengenai tarekat dan Suf sme tetap samar-samar, hal-hal
               terkait perkawinan dan warisan tidak demikian, terutama ketika persoalan
               pajak  yang  dipertaruhkan.  Pada  Desember  1754  Gubernur  Jenderal  Jacob
               Mossel  (menjabat  1750–61)  memerintahkan  penyusunan  bunga  rampai
               “berbagai hukum dan adat  Mahomedan paling penting mengenai warisan,
               perkawinan,  dan  perceraian”,  setelah  berkonsultasi  dengan  “beberapa
               pendeta  Mahomedan  dan  pejabat  kampong”.  Sebuah  komite  kemudian
               mempresentasikan draf untuk diskusi pada Februari 1756 yang diperiksa baik
               oleh Belanda maupun para “pendeta” lokal sebelum disebarkan pada 1760. 84
   111   112   113   114   115   116   117   118   119   120   121