Page 117 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 117

96  —  KEKUASAAN DALAM PENCARIAN PENGETAHUAN


              Juga terlihat dari catatan korespondensi para gubernur jenderal bahwa
          penaklukan  efektif  atas  Jawa,  yang  diresmikan  dengan  Perjanjian  Giyanti
          1755, bersamaan dengan Belanda mulai mempertimbangkan pelatihan dan
          pengujian  bahasa  Arab  dan  Melayu  para  pejabatnya.   Barangkali  mereka
                                                        85
          ingin menghilangkan ketergantungan terhadap para perantara asing semisal
          petualang Utsmani, Sayyid Ibrahim (dikenal dengan berbagai nama seperti
          Bapak Sarif Besar atau Padre Grande), yang pernah bernegosiasi atas nama
          mereka pada 1753–54.  Juga jelas bahwa mereka lebih suka berurusan dengan
                             86
          negara-negara  muslim  di  Jawa  mengingat  Batavia  mendorong  Islamisasi
          Kawasan  Tapal  Kuda  sejak  1760-an  dengan  mengorbankan  kekuatan-
          kekuatan yang berdekatan di Bali. 87
              Bahkan,  tampaknya  sebagian  pendeta  merasa  bahwa  mereka  pada
          akhirnya mendapatkan khalayak Muslim. Pada 1759 J.M. Mohr (1716–75),
          seorang pendeta Batavia yang baru saja menyelesaikan empat jilid Injil dalam
          edisi bahasa Portugis dan Jawi, berturut-turut pada 1753 dan 1756, memberi
          tahu Orientalis Leiden Jan Jacob Schultens (1716–88) bahwa dia bersiap-siap
          menyebarkan sekitar 3.500 kopi kepada kalangan kaum Muslim di kawasan
          ini. Namun, dia hanya bisa menyesal karena meskipun telah mengirimi Raja
          Terengganu di Semenanjung Malaya sekitar lima puluh kopi melalui tangan
          seorang  petugas  kapal  yang  memiliki  bakat  kebahasaan,  dia  tidak  mampu
          menyertakan  seorang  guru  yang  mengetahui  agama  “Alkoranic”,  yang  bisa
          memberikan “suara hidup seorang guru yang penyayang dan bijaksana” untuk
          tugas ini. 88
              Kembali  ke  Werndly:  teksnya  tak  diragukan  lagi  dianggap  berguna
          oleh para pejabat dan pengkhotbah di seluruh Hindia sampai dengan abad
          kesembilan belas. Namun, dari teks tersebut tak banyak yang khas yang bisa
          dipelajari mengenai Islam dalam kehidupan sehari-hari. Selain penyebutan
          singkat bahwa teks-teks tertentu bermanfaat dan rekomendasi Kanz al-khaf 
          karya al-Raniri sebagai (mengutip Valentijn) “sebuah buku yang sangat baik
          mengenai  penciptaan  manusia,  kematian,  kubur,  anti-Kristus,  Gog  dan
          Magog, dan hari akhir”, Werndly hanya mengungkapkan berbagai prasangka
          yang  bisa  kita  harapkan  dari  seorang  klerikus  abad  kedelapan  belas.  Dia
          berkomentar bahwa kisah populer Isra Mikraj mengisahkan bagaimana sang
          “nabi palsu” dibawa ke Jerusalem di punggung “makhluk khayalan Burâk”,
          kemudian ke langit tempat dia melihat singgasana Tuhan. 89
              Jelas bahwa orang-orang seperti Werndly dan para penerus langsungnya
          berjarak lebih jauh daripada sekadar dua busur panah dari inti pengetahuan
          Islam. Namun saat itu, banyak klerikus merasa bahwa bahasa Melayu yang
          lebih mereka pedulikan dibandingkan bahasa Arab, juga tidak benar-benar
                                            90
          sesuai untuk menangani teologi Kristen.  Demikianlah keadaannya sehingga
          sang cendekiawan ortodoks dalam skriptorium kolonial mungkin mendaki
   112   113   114   115   116   117   118   119   120   121   122